Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Guru Hanya Butuh Didengar, Bukan Dipuji

12 Oktober 2025   07:28 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:28 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sore-sore tertentu di ruang guru yang membuat waktu seolah berhenti. Setelah jam pelajaran terakhir, suasana menjadi lebih tenang. Beberapa guru masih duduk di meja masing-masing, ada yang sibuk menandai lembar ujian, ada pula yang diam menatap jendela, seperti sedang bercakap dengan pikirannya sendiri. Di sela keheningan itu, sering muncul kalimat yang membuat semua orang mengangguk pelan. Kalimat-kalimat yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang menjalani profesi ini — profesi yang sekaligus mulia dan melelahkan.

Saya masih ingat satu perbincangan di ruang guru bertahun-tahun lalu. Seorang rekan senior berkata lirih sambil merapikan tumpukan kertas nilai, “Yang paling berat dari jadi guru bukan mengajar murid, tapi tetap sabar saat tak dihargai.” Semua yang mendengarnya diam. Tak ada bantahan, tak ada tawa. Hanya tatapan yang saling memahami. Karena di balik tumpukan laporan dan senyum ramah di kelas, ada banyak luka kecil yang tak terlihat. Guru bukan hanya mengajar, tapi menahan kecewa dalam diam — ketika kerja keras terasa diabaikan, ketika jerih payah dianggap sekadar kewajiban.

Kalimat itu terus terngiang setiap kali saya melihat guru-guru muda mulai kehilangan semangatnya. Mereka masuk kelas dengan energi besar, tapi perlahan redup karena terlalu sering dibandingkan, dikritik tanpa konteks, atau tidak didengarkan. Padahal, kalau kita mau jujur, keikhlasan guru bukan berarti kebal dari rasa lelah. Ia hanya pandai menyembunyikan luka agar tak mengganggu tugasnya.

Saya juga teringat ketika masa libur sekolah tiba. Banyak orang di luar profesi ini berkata, “Enak ya, guru liburnya panjang.” Setiap kali mendengar itu, saya ingin tertawa kecil. Karena hanya guru yang tahu, di masa libur pun pikirannya tak pernah benar-benar istirahat. Bahkan di tengah liburan keluarga, otaknya masih memikirkan RPP semester depan, murid yang nilainya turun, atau bagaimana cara membuat kelas lebih hidup. “Banyak yang bilang guru libur panjang, padahal otaknya tak pernah istirahat,” kata seorang guru sambil tersenyum getir di kantin sekolah. Dan kami semua mengangguk, karena itu benar adanya.

Menjadi guru artinya membawa kelas ke mana pun pergi — bukan secara fisik, tapi di kepala dan hati. Saat makan malam, kadang masih terbayang wajah murid yang tampak sedih. Saat menonton berita, pikiran melayang ke kurikulum yang baru. Dunia seorang guru jarang benar-benar hening. Bahkan di hari Minggu pun, suara panggilan moralnya tetap terdengar.

Tapi dari semua kalimat yang sering muncul di ruang guru, ada satu yang paling nyentil dan paling jujur: “Guru tak butuh selalu dipuji, tapi jangan dibiarkan merasa sendirian.” Kalimat ini, kalau diucapkan di waktu yang tepat, bisa membuat ruangan tiba-tiba hening. Karena di balik tawa dan candaan para guru, sering tersembunyi perasaan sepi. Ada hari-hari ketika mereka merasa tak ada yang mengerti, bahkan di lingkungan sekolahnya sendiri.

Saya pernah menemui seorang guru yang diam-diam menangis di ruang tata usaha. Bukan karena dimarahi, tapi karena merasa semua tanggung jawab jatuh di pundaknya tanpa dukungan. Ia tak butuh tepuk tangan, hanya ingin ada yang berkata, “Terima kasih, sudah berjuang sejauh ini.” Guru tak butuh dipuja, tapi ia manusia yang butuh merasa tidak sendirian. Itulah kalimat yang paling sering membuat mereka menghela napas panjang. Karena di antara semua bentuk penghargaan, kehadiran dan empati adalah yang paling bermakna.

Ada juga kalimat lain yang menohok, dan sayangnya terlalu sering terbukti: “Murid boleh gagal ujian, tapi sistem yang gagal mendukung guru jauh lebih menyakitkan.” Banyak guru ingin mengajar dengan hati, tapi kadang sistem membuat mereka kewalahan. Tugas administratif menumpuk, target tak henti-henti datang, sementara ruang untuk berkreasi justru menyempit. Guru bukan mesin target, tapi manusia yang ingin memberi makna. Namun ketika kebijakan lebih sering berputar di atas kertas daripada di ruang kelas, idealisme pelan-pelan terkikis.

Saya pernah menghadiri rapat di mana seorang guru berkata jujur, “Kami ingin fokus ke murid, tapi waktu kami habis untuk laporan.” Tak ada yang berani menatapnya, tapi semua tahu ia sedang mewakili suara banyak orang. Guru ingin didukung, bukan dibebani. Mereka ingin didengar, bukan hanya diperintah. Dan ketika sistem gagal mendukung, semangat yang dulu membara bisa perlahan padam.

Namun di balik semua keluh kesah itu, ada kalimat yang menenangkan sekaligus menegaskan jati diri profesi ini: “Guru bukan ingin jadi pahlawan, hanya ingin pekerjaannya dihargai dengan manusiawi.” Kalimat ini sering muncul dalam perbincangan santai saat menunggu jam pulang. Tidak ada nada marah di dalamnya, hanya kejujuran. Guru tak menuntut dipuja seperti tokoh sejarah, mereka hanya ingin diperlakukan dengan hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun