Di Bangka Belitung, pemandangan seorang guru yang pulang mengajar lalu menenteng cangkul, atau bergegas ke tambat perahu bukanlah hal yang langka. Di pagi hari mereka berdiri di depan kelas, membimbing murid-murid mengenal dunia. Tapi begitu lonceng terakhir berbunyi, mereka berganti peran: menjadi pekebun lada, penambang timah skala kecil, atau nelayan yang menjala ikan hingga petang.
Bukan karena mereka malas atau tak berdedikasi. Justru sebaliknya, mereka adalah simbol dari kegigihan dan cinta pada profesi. Tapi cinta saja tak cukup untuk menafkahi keluarga.
Guru-guru ini adalah wajah dari sistem yang tidak pernah benar-benar menyejahterakan mereka. Di daerah, terutama di sekolah negeri kecil dan pelosok, guru-guru honorer hidup dengan bayaran yang bahkan tak cukup untuk membeli beras sebulan. Sementara guru ASN pun kerap menanti pencairan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang tak menentu waktunya dan seringkali jauh dari angka yang layak.
Kita sering mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Tapi mengapa orang yang memegang kunci itu justru hidup dalam ketidakpastian? Kita berteriak soal pentingnya pendidikan, tapi pelan-pelan kita biarkan para gurunya lelah tanpa jaminan sejahtera.
Profesi guru di Indonesia belum selalu sejalan dengan kesejahteraan yang semestinya. TPP untuk guru ASN selalu diberi nominal paling kecil, dengan dalih guru sudah mendapat tunjangan profesi guru yang pada kenyataannya tidak semua guru menerimanya. Diperparah lagi dengan proses pencairannya sering kali molor. Ironisnya, pejabat di kantor-kantor pemerintahan menerima tunjangan belasan juta, dengan ritme kerja yang tak selalu lebih berat atau lebih berdampak jangka panjang.
Saya tidak sedang membandingkan profesi secara sembrono. Tapi kita harus mengakui bahwa ada ketimpangan sistemik yang sudah terlalu lama dibiarkan. Guru bukan hanya pengajar. Mereka adalah perancang masa depan, pemahat karakter, penjaga api logika dan nurani generasi. Tapi lihatlah bagaimana sistem memperlakukan mereka—seolah peran itu hanya pantas dibayar minim.
Lebih menyakitkan lagi, ketidakadilan ini ditonton langsung oleh murid-murid. Anak-anak itu melihat gurunya meminjam uang di koperasi, membawa bekal sederhana, atau bahkan absen mengajar karena harus mencari tambahan penghasilan. Pesan tak langsung yang mereka tangkap sangat jelas: “Pendidikan tinggi tidak menjamin kehidupan yang layak kalau kamu jadi guru.”
Apakah ini yang ingin kita wariskan?
Kesejahteraan guru bukan soal gaji semata. Ia adalah cerminan nilai apa yang kita anggap penting sebagai bangsa. Jika guru disejahterakan, maka mereka punya ruang mental untuk berinovasi, mencipta metode pembelajaran baru, menyemai harapan. Tapi jika setiap malam mereka harus bergulat dengan kebutuhanhidup, bagaimana bisa esok paginya mereka hadir penuh untuk anak-anak kita?
Saya tahu, banyak guru yang tetap semangat meski digaji rendah. Mereka mengajar dengan cinta, dengan kesetiaan. Tapi seberapa lama lagi kita akan menggantungkan masa depan bangsa pada cinta dan kesetiaan yang tak pernah dibayar lunas?
Saya jadi teringat percakapan dengan seorang guru matematika SMA. Ia berkata, “Kadang saya iri juga lihat teman-teman yang kerja kantoran. Mereka bisa fokus kerja, pulang tenang. Saya? Pagi di kelas, sore berkebun atau melaut, malam koreksi tugas. Tapi saya tetap bertahan, karena saya suka mengajar.”
Suka saja tidak cukup.
Pemerintah pusat dan daerah harus sadar bahwa ketimpangan ini bukan hanya masalah anggaran, tapi masalah arah kebijakan. Selama ini, kita cenderung membangun pendidikan dari sisi luar: gedung megah, kurikulum baru, pelatihan digital. Tapi kita lupa pondasinya: guru. Bagaimana sebuah bangunan bisa berdiri tegak kalau pondasinya dibiarkan rapuh?
Reformasi penggajian guru harus menjadi prioritas. Skema Tambahan Penghasilan Pegawai perlu dievaluasi agar adil dan transparan. Guru seharusnya tidak lagi menjadi "yang paling akhir" dalam antrean pencairan. Dan tentu saja, status guru honorer perlu diselesaikan dengan kebijakan yang bermartabat, bukan dengan janji yang tak kunjung nyata.
Kesejahteraan juga menyangkut pengakuan sosial. Masyarakat perlu berhenti menganggap guru sebagai profesi “pengabdian” yang tak perlu dibayar tinggi. Tidak. Guru adalah profesi profesional yang layak mendapatkan penghargaan—baik secara moral maupun material. Kita perlu budaya baru yang tidak hanya menghormati guru saat Hari Guru, tapi setiap hari, lewat dukungan konkret terhadap perjuangan mereka.
Bahkan secara logika ekonomi pun, investasi pada kesejahteraan guru akan memberi hasil jangka panjang. Guru yang tenang secara finansial akan lebih mampu memfokuskan energi untuk mendidik. Anak-anak yang dibimbing guru seperti itu akan tumbuh lebih optimal. Dan bangsa ini akan panen generasi emas yang sungguh siap bersaing di masa depan.
Kalau kita ingin profesi guru dihuni oleh orang-orang terbaik, maka kita harus pastikan bahwa menjadi guru adalah pilihan rasional, bukan pilihan keterpaksaan. Bayangkan jika semua anak muda cerdas lebih memilih jadi ASN kantoran atau masuk BUMN, siapa yang akan mendidik anak-anak kita kelak?
Kita butuh perubahan cara pandang. Guru bukan beban anggaran. Mereka adalah aset masa depan.
Akhirnya, saya kembali mengingat guru di Bangka Belitung yang sore itu turun dari kelas, lalu menuju kebun sawit sambil menghela napas panjang. Barangkali malam harinya, ia masih mengoreksi lembar ujian, memikirkan rencana pembelajaran esok, lalu tertidur dengan lelah yang belum dibayar lunas. Ia tidak minta dihormati. Ia hanya ingin dihargai selayaknya.
Dan kita semua bisa memulainya—dari kesadaran bahwa sejahtera itu hak, bukan hadiah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI