Saya jadi teringat percakapan dengan seorang guru matematika SMA. Ia berkata, “Kadang saya iri juga lihat teman-teman yang kerja kantoran. Mereka bisa fokus kerja, pulang tenang. Saya? Pagi di kelas, sore berkebun atau melaut, malam koreksi tugas. Tapi saya tetap bertahan, karena saya suka mengajar.”
Suka saja tidak cukup.
Pemerintah pusat dan daerah harus sadar bahwa ketimpangan ini bukan hanya masalah anggaran, tapi masalah arah kebijakan. Selama ini, kita cenderung membangun pendidikan dari sisi luar: gedung megah, kurikulum baru, pelatihan digital. Tapi kita lupa pondasinya: guru. Bagaimana sebuah bangunan bisa berdiri tegak kalau pondasinya dibiarkan rapuh?
Reformasi penggajian guru harus menjadi prioritas. Skema Tambahan Penghasilan Pegawai perlu dievaluasi agar adil dan transparan. Guru seharusnya tidak lagi menjadi "yang paling akhir" dalam antrean pencairan. Dan tentu saja, status guru honorer perlu diselesaikan dengan kebijakan yang bermartabat, bukan dengan janji yang tak kunjung nyata.
Kesejahteraan juga menyangkut pengakuan sosial. Masyarakat perlu berhenti menganggap guru sebagai profesi “pengabdian” yang tak perlu dibayar tinggi. Tidak. Guru adalah profesi profesional yang layak mendapatkan penghargaan—baik secara moral maupun material. Kita perlu budaya baru yang tidak hanya menghormati guru saat Hari Guru, tapi setiap hari, lewat dukungan konkret terhadap perjuangan mereka.
Bahkan secara logika ekonomi pun, investasi pada kesejahteraan guru akan memberi hasil jangka panjang. Guru yang tenang secara finansial akan lebih mampu memfokuskan energi untuk mendidik. Anak-anak yang dibimbing guru seperti itu akan tumbuh lebih optimal. Dan bangsa ini akan panen generasi emas yang sungguh siap bersaing di masa depan.
Kalau kita ingin profesi guru dihuni oleh orang-orang terbaik, maka kita harus pastikan bahwa menjadi guru adalah pilihan rasional, bukan pilihan keterpaksaan. Bayangkan jika semua anak muda cerdas lebih memilih jadi ASN kantoran atau masuk BUMN, siapa yang akan mendidik anak-anak kita kelak?
Kita butuh perubahan cara pandang. Guru bukan beban anggaran. Mereka adalah aset masa depan.
Akhirnya, saya kembali mengingat guru di Bangka Belitung yang sore itu turun dari kelas, lalu menuju kebun sawit sambil menghela napas panjang. Barangkali malam harinya, ia masih mengoreksi lembar ujian, memikirkan rencana pembelajaran esok, lalu tertidur dengan lelah yang belum dibayar lunas. Ia tidak minta dihormati. Ia hanya ingin dihargai selayaknya.
Dan kita semua bisa memulainya—dari kesadaran bahwa sejahtera itu hak, bukan hadiah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI