Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam pada dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi dan dunia usaha. Selain itu, aktif menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ekonomi Gen Z: Ketika Tren, Etika, dan Teknologi Bertabrakan

11 Oktober 2025   12:09 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:09 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi Z—mereka yang lahir kira-kira pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—sedang membentuk arsitektur baru konsumsi Indonesia. Mereka tumbuh di bawah bayang-bayang algoritma, di mana kecepatan sirkulasi informasi menandingi kecepatan sirkulasi modal. Di permukaan, generasi ini tampak mengedepankan etika, keberlanjutan, dan keaslian. Namun, di lapisan yang lebih dalam, preferensi mereka sering dijahit rapi oleh mekanisme teknologis yang tak terlihat. Paradoks inilah—antara nilai dan kenyamanan, antara otonomi dan orkestrasi algoritmik—yang menuntut pembacaan kritis.

Secara demografis, bobot Gen Z dalam struktur penduduk Indonesia sudah tecermin jelas. Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan Generasi Z mencakup sekitar 27,94% populasi (BPS, 2021), sebuah massa kritis yang akan mengarahkan kompas konsumsi domestik satu dekade ke depan. Di saat yang sama, penetrasi internet Indonesia terus menanjak; laporan APJII (2024) menempatkan tingkat adopsi internet nasional di kisaran ~79–80%. Kombinasi ini—demografi muda dan konektivitas luas—mengubah konsumsi menjadi praktik digital yang berlangsung real time, lintas platform, dan sangat dapat dilacak.

Konsumsi Gen Z makin berwajah identitas. Literatur psikologi-konsumen menunjukkan bahwa konsumsi kerap menjadi wahana ekspresi diri dan moral identity (Aquino & Reed, 2002), mempertautkan “siapa saya” dengan “apa yang saya beli.” Dalam realitas media sosial, produk bukan sekadar fungsi; ia adalah narasi dan sinyal keanggotaan. Riset pemasaran dan perilaku konsumen telah lama menggarisbawahi relasi antara self-presentation dan pilihan merek (Belk, 1988; Reed, 2004). Gen Z menuntut keaslian (authenticity) dan keterpaduan antara kata dan laku korporasi—dan kepercayaan itu rapuh ketika berhadapan dengan praktik performatif.

Di sinilah celah antara aktivisme merek dan transformasi organisasi sering terbuka. Literatur tentang greenwashing dan purpose-washing menegaskan bahwa klaim etis tanpa perubahan substantif memicu reaksi balik konsumen (Delmas & Burbano, 2011; Lyon & Montgomery, 2015; Vredenburg et al., 2020). Bukti eksperimental dan tinjauan sistematis menunjukkan: ketika konsumen mendeteksi diskrepansi antara pesan dan praktik, persepsi kredibilitas dan niat beli merosot (Nyilasy, Gangadharbatla, & Paladino, 2014; Wagner, Lutz, & Weitz, 2009). Narasi “peduli lingkungan” atau “inklusif” yang hanya kosmetik bukan sekadar tidak efektif; ia kontraproduktif dalam ekosistem Gen Z yang sensitif terhadap ketulusan.

Namun paradoks paling tajam muncul saat etika bertemu kenyamanan. Satu sisi literatur menampilkan meningkatnya ethical consumerism; sisi lain mengungkap daya tarik fast fashion dan harga murah yang berpacu dengan dopamine loop digital. Penelitian lintas-disiplin menunjukkan jejak ekologis dan sosial dari fast fashion—dari emisi hingga limbah tekstil—sangat signifikan (Niinimäki et al., 2020; Fletcher, 2010). Joy et al. (2012) bahkan menyoroti paradoks konsumen muda yang mengapresiasi nilai etis sambil tetap mendorong siklus belanja cepat. Indonesia, dengan pertumbuhan e-commerce yang besar (Google-Temasek-Bain, 2023), menjadi laboratorium tempat idealisme etis berbenturan dengan promosi kilat, gratis ongkir, dan rekomendasi personal yang menggoda.

Dari sudut psikologi digital, dinamika “viralitas” dan fear of missing out (FOMO) memberi mesin pada ekonomi emosi ini. FOMO terbukti berkorelasi dengan impulsivitas dan penggunaan media sosial yang lebih intens (Przybylski et al., 2013; Beyens et al., 2016), yang pada gilirannya berkaitan dengan keputusan konsumsi cepat. Di ruang yang dikurasi algoritma, popularitas menjadi isyarat kualitas; efek bandwagon dan social proof menggeser evaluasi rasional ke arah isyarat sosial (Aral & Walker, 2012; Muchnik, Aral, & Taylor, 2013). Gen Z berada di pusaran ini: sebuah pasar yang memonetisasi perhatian dan emosi.

Otoritas baru dalam pasar digital adalah figur panutan sebaya. Ekonomi influencer—terutama micro-influencers—mengkapitalisasi persepsi kedekatan dan keaslian (De Veirman, Cauberghe, & Hudders, 2017). Namun, literatur juga memperingatkan tentang erosi kepercayaan ketika disclosure tidak memadai atau konten bersifat astroturfing (Evans, Phua, Lim, & Jun, 2017; Boerman, Willemsen, & Van Der Aa, 2017). Bagi Gen Z, garis antara rekomendasi tulus dan promosi berbayar kerap kabur; tanpa transparansi yang kuat, kepercayaan berubah menjadi valuta yang volatil.

Di balik permukaan, ada arsitektur teknologis yang mengarahkan preferensi. Penelitian dalam sistem rekomendasi dan periklanan berbasis data menunjukkan bagaimana personalization dapat mengubah pencarian menjadi penentuan pilihan (Adomavicius & Tuzhilin, 2005; Lambrecht & Tucker, 2013). Ini memunculkan dilema otonomi: sampai sejauh mana keputusan konsumsi masih “milik” individu? Sementara itu, literatur tentang privasi menegaskan adanya privacy paradox—ketika orang menyatakan peduli privasi tetapi berperilaku sebaliknya karena friksi, bias, dan present bias (Norberg, Horne, & Horne, 2007; Acquisti, Brandimarte, & Loewenstein, 2015). Gen Z, yang sangat mobile-first, sering menukar data dengan kemudahan—sebuah pertukaran yang tak selalu dipahami implikasinya.

Pertukaran itu penting secara politis karena data adalah bentuk baru kekuasaan. Penguasaan data perilaku memungkinkan pengiklan memprediksi dan mengondisikan respons (Goldfarb & Tucker, 2011). Dalam pasar yang kian terdiferensiasi mikro, struktur harga, penawaran, bahkan urutan paparan bisa dipersonalisasi, menciptakan asimetri informasi baru antara platform dan pengguna. Ketika literasi digital terlambat mengejar, ketimpangan kekuasaan ini melebar. Di Indonesia, survei resmi menunjukkan kesenjangan literasi keamanan digital masih nyata (Kominfo, 2024), menandakan urgensi pendidikan yang melampaui keterampilan teknis menuju etika digital dan hak data.

Pada ranah keberlanjutan, bukti akademik tegas: klaim hijau yang tidak disertai perubahan rantai pasok dan desain produk hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya (Thøgersen, 2000; Testa et al., 2015). Penelitian menekankan pentingnya lifecycle assessment dan supplier governance untuk menghindari burden shifting (Seuring & Müller, 2008). Dalam konteks ini, dorongan Gen Z pada transparansi harus diterjemahkan ke indikator yang dapat diaudit—emisi, intensitas energi, keberlacak­an bahan baku—bukan sekadar estetika kemasan.

Argumen normatifnya jelas: bisnis tidak lagi sekadar menjual produk; mereka menjual institusi kepercayaan. Literatur brand-purpose menyimpulkan bahwa dampak positif hanya muncul ketika tujuan sosial terintegrasi pada strategi, metrik kinerja, dan tata kelola (Vredenburg et al., 2020). Dengan kata lain, “nilai” harus menjadi infrastruktur, bukan kampanye. Untuk Indonesia, ini berarti mendorong pengungkapan ESG yang terstandar, audit independen, serta insentif kebijakan yang menyamakan arena persaingan bagi pelaku yang benar-benar bertransformasi.

Pada saat yang sama, Gen Z memerlukan toolkit baru agar etos mereka tidak terkooptasi oleh arsitektur perhatian. Pendidikan ekonomi perlu memasukkan literasi algoritma, etika data, dan penilaian dampak siklus hidup. Penelitian pendidikan menunjukkan bahwa critical digital literacy mengurangi kerentanan terhadap misinformasi dan taktik persuasif yang menyesatkan (Kahne & Bowyer, 2017). Jika dikawinkan dengan kurikulum kewirausahaan berkelanjutan, hal ini bisa mengalihkan energi kreatif Gen Z dari consumption-centric menuju solution-centric.

Untuk menghubungkan etika dan praktik, data resmi domestik penting sebagai jangkar realitas. Di tingkat makro, komposisi demografis (BPS, 2021), adopsi internet (APJII, 2024), dan nilai ekonomi digital (Google-Temasek-Bain, 2023) menyediakan baseline kuantitatif. Di tingkat mikro, pengukuran preferensi dan perilaku harus memadukan survei, digital trace data, dan audit independen rantai pasok agar klaim “hijau” dan “adil” dapat diverifikasi. Tanpa itu, “ekonomi Gen Z” berisiko menjadi jargon pemasaran yang cantik namun hampa.

Pada akhirnya, pertanyaan kuncinya bukan apakah Gen Z peduli etika—banyak bukti menunjukkan mereka peduli—melainkan apakah institusi pasar dan desain teknologi memberi ruang agar kepedulian itu efektif. Literatur mutakhir memperlihatkan bahwa desain kebijakan dan platform dapat “mendorong” (nudge) ke pilihan yang lebih berkelanjutan tanpa mengorbankan otonomi (Johnson et al., 2012). Di sinilah kebijakan publik, tata kelola data, dan inovasi bisnis harus bertemu: menciptakan ekosistem di mana tren, etika, dan teknologi tidak lagi bertabrakan, melainkan berkolaborasi untuk kemaslahatan.

Indonesia memiliki momentum unik: pasar digital besar, generasi muda yang melek teknologi, dan urgensi transformasi hijau. Jika korporasi berani beralih dari komunikasi ke komitmen, dan jika Gen Z membekali idealismenya dengan literasi kritis dan kedisiplinan konsumsi, maka wajah ekonomi baru yang lebih manusiawi bukan sekadar kemungkinan—ia menjadi rancangan kerja.

 Daftar Pustaka

Acquisti, A., Brandimarte, L., & Loewenstein, G. (2015). Privacy and human behavior in the age of information. Science, 347(6221), 509–514.

Adomavicius, G., & Tuzhilin, A. (2005). Toward the next generation of recommender systems. IEEE Transactions on Knowledge and Data Engineering, 17(6), 734–749.

APJII. (2024). Laporan Survei Internet Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.

Aquino, K., & Reed, A. (2002). The self-importance of moral identity. Journal of Personality and Social Psychology, 83(6), 1423–1440.

Aral, S., & Walker, D. (2012). Identifying influential and susceptible members of social networks. Science, 337(6092), 337–341.

Belk, R. W. (1988). Possessions and the extended self. Journal of Consumer Research, 15(2), 139–168.

Beyens, I., Frison, E., & Eggermont, S. (2016). “Fear of Missing Out” as a predictor of problematic social media use. Computers in Human Behavior, 64, 1–8.

Boerman, S. C., Willemsen, L. M., & Van Der Aa, E. P. (2017). “This Post Is Sponsored”. Journal of Interactive Marketing, 38, 82–92.

BPS. (2021). Hasil Sensus Penduduk 2020: Komposisi Generasi di Indonesia. Badan Pusat Statistik.

Delmas, M. A., & Burbano, V. C. (2011). The drivers of greenwashing. California Management Review, 54(1), 64–87.

De Veirman, M., Cauberghe, V., & Hudders, L. (2017). Marketing through Instagram influencers. International Journal of Advertising, 36(5), 798–828.

Evans, N. J., Phua, J., Lim, J., & Jun, H. (2017). Disclosing Instagram influencer advertising. Journal of Interactive Advertising, 17(2), 138–149.

Fletcher, K. (2010). Slow fashion: An invitation for systems change. Fashion Practice, 2(2), 259–265.

Goldfarb, A., & Tucker, C. (2011). Privacy regulation and online advertising. Management Science, 57(1), 57–71.

Google, Temasek, & Bain. (2023). e-Conomy SEA 2023.

Johnson, E. J., Shu, S. B., Dellaert, B. G. C., Fox, C., Goldstein, D., … Weber, E. U. (2012). Beyond nudges. Marketing Letters, 23(2), 487–504.

Joy, A., Sherry, J. F., Venkatesh, A., Wang, J., & Chan, R. (2012). Fast fashion, sustainability, and the ethical appeal of luxury brands. Fashion Theory, 16(3), 273–295.

Kominfo. (2024). Indeks Literasi Digital Indonesia (ringkasan eksekutif). Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Lambrecht, A., & Tucker, C. (2013). When does retargeting work? Journal of Marketing Research, 50(5), 561–576.

Lyon, T. P., & Montgomery, A. W. (2015). The means and end of greenwash. Organization & Environment, 28(2), 223–249.

Muchnik, L., Aral, S., & Taylor, S. J. (2013). Social influence bias. Science, 341(6146), 647–651.

Niinimäki, K., Peters, G., Dahlbo, H., Perry, P., Rissanen, T., & Gwilt, A. (2020). The environmental price of fast fashion. Nature Reviews Earth & Environment, 1(4), 189–200.

Norberg, P. A., Horne, D. R., & Horne, D. A. (2007). The privacy paradox. Journal of Consumer Affairs, 41(1), 100–126.

Nyilasy, G., Gangadharbatla, H., & Paladino, A. (2014). Perceived greenwashing. Journal of Business Ethics, 125(4), 693–707.

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.

Reed, A. (2004). Activating the self-importance of consumer selves. Journal of Consumer Research, 31(2), 286–295.

Seuring, S., & Müller, M. (2008). From a literature review to a conceptual framework for sustainable supply chain management. Journal of Cleaner Production, 16(15), 1699–1710.

Testa, F., Iraldo, F., Vaccari, A., & Ferrari, E. (2015). Why eco-labels can be effective marketing tools. Business Strategy and the Environment, 24(4), 252–265.

Thøgersen, J. (2000). Psychological determinants of paying attention to eco-labels. Journal of Consumer Policy, 23(3), 285–313.

Vredenburg, J., Kapitan, S., Spry, A., & Kemper, J. A. (2020). Brands taking a stand: Authentic brand activism or woke washing? Journal of Marketing Management, 36(5–6), 429–457.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun