Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teror dari Masjid

3 Januari 2019   10:14 Diperbarui: 3 Januari 2019   10:20 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Padahal, Islam sendiri senantiasa memberikan suasana kelembutan kepada siapapun, tanpa harus menilai bahwa masyarakat muslim itu lemah, sekaligus Islam itu membawa nuansa yang relatif tegas, yang tentu saja tidak berarti "keras". 

Hal ini sangat jelas ketika para pembaca al-Quran membuka lembaran paling tengah dalam kitab itu dan tertulis "wal yatalatthof" (berlakulah lemah lembut). Kalimat ini tepat berada ditengah-tengah ketika kita membukanya, terselip diantara ribuan bait ayat-ayat-Nya dengan "ditandai" warna tertentu. 

Sikap lemah lembut tentu saja senantiasa merujuk pada prilaku yang selalu ditonjolkan pribadi Nabi Muhammad, sehingga ajaran kasih sayang yang dibawanya melampaui batas kaumnya sendiri, tetapi diproyeksikan untuk kebaikan seluruh alam semesta tanpa kecuali (wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil'alamiin). 

Jika saat ini masjid seolah dipersepsikan menjadi tempat yang kurang aman, saya justru khawatir akan semakin bertambah banyak saja orang yang enggan pergi ke masjid. Padahal fungsi masjid sebagai ajang penguatan soliditas keumatan sekaligus penopang sisi keekonomian umat yang belum sepenuhnya dikembalikan fungsinya, semakin jauh saja akibat mencuatnya beragam aksi kekerasan yang justru muncul dari lingkungan sekitarnya. 

Terlepas dari soal kesalahpahaman yang terjadi atau alasan-alasan apapun, yang pasti sedemikian mudahnya masyarakat kita tersulut melakukan tindakan kekerasan dan yang sangat disesalkan kekerasan itu justru terjadi di dalam masjid. Masjid seolah terus terseret dalam pusaran kekerasan, karena nilai-nilai kelembutan yang terpancar dari dalam lingkungan sekitarnya, kini semakin habis terkikis bahkan lenyap menguap.

Cap terhadap adanya masjid "radikal" saja telah menuai kontroversial, sekalipun kenyataannya ada aksi-aksi kekerasan yang berasal dari dalam masjid itu sendiri. Padahal, merujuk pada catatan sejarah, pernah ketika Nabi Muhammad melihat ada seorang Badui yang mengencingi masjid, tak kemudian memicu aksi kekerasan. 

Nabi tentu saja memaafkan, terlebih karena memang terdapat unsur ketidaktahuan atau ketidaksengajaan dari yang pihak yang melakukan. "Fa innama bu'itstum muyassiriin wa lam tub'atsu mu'assirin" (sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan), demikian pesan singkat Nabi dimana semestinya prinsip lemah lembut itu tetap terjaga hingga saat ini.

Mungkin ada benarnya, ketika berbagai kasus yang semakin menyeret masjid kedalam pusaran kekerasan, merupakan akibat langsung dari terlampau banyaknya orasi-orasi "keras" para pemuka agama di dalamnya. Sedikit saja diantara mereka yang mengajak untuk bersikap lemah lembut, saling menghargai, menghormati, dan menjaga kesucian---bukan merasa suci---antar sesamanya. 

Masjid tetaplah tempat suci yang jelas dapat membentuk kepribadian setiap orang menjadi lebih baik, ketika bersosialisasi dalam lingkungannya. Bahkan jika boleh dikatakan, masjid tentu saja dapat berfungsi sebagai "kawah candradimuka" bagi lahirnya peradaban, karena terbukti sepanjang sejarah Islam, para ulama yang berkontribusi dalam memajukan peradaban Islam adalah mereka yang besar dan dididik dalam lingkungan masjid, bukan diluarnya.

Masjid adalah "tempat sujud" dimana setiap orang memasrahkan diri serendah-rendahnya dihadapan Tuhan, tanpa kecuali. Sujud menandakan, semua manusia setara dihadapan Tuhan. Sikap membungkuk dan sujud dalam salat sekaligus merupakan wujud perlawanan atas sikap arogansi dirinya sendiri. 

Arogansi dan kesewenang-wenangan tentu saja linier dengan tindakan kekerasan. Maka "masjid" yang terambil dari akar kata "sajada" atau "sujud" adalah konotasi paling nyata dari watak egalitarianisme muslim yang cenderung toleran bahkan anti-kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun