Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Narasi Agama dalam Pilpres 2019

14 November 2018   16:29 Diperbarui: 15 November 2018   05:48 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahasa agama seperti menjadi "klaim hegemonik" dalam seluruh aktivitas politik. Bahkan seringkali tanpa sadar, menjadi semacam agitasi rendahan yang selalu dipermainkan, lalu dijadikan identitas politik dalam hal positioning untuk sekadar merebut simpati pemilih.

Kadang yang mengherankan, seorang tokoh agama-pun bisa terjebak dalam konfrontasi narasi keagamaan seperti ini, menggunakan istilah keagamaan yang sama sekali tidak pada tempatnya. Walaupun istilah "budek-tuli" tak seluruhnya cermin realitas bahasa agama, namun ketika diucapkan dari mulut seorang yang dianggap pemuka agama, jelas menjadi masalah terlebih ia sedang berposisi sebagai calon kandidat politik.  

Narasi keagamaan terus menyeruak dalam Pilpres 2019, sejak dari istilah santri yang semakin kabur hingga soal bendera yang semakin ngawur, bahkan tobat dan hijrah yang berkonotasi negatif dan kurang terukur. Bahasa agama semakin mantap menempatkan posisinya menggantikan istilah-istilah politik yang lebih umum dan dapat diterima masyarakat. Bahasa agama menjadi eksploitasi para politisi sekadar memenuhi ambisi dalam wacana besar narasi kepolitikan republik ini. 

Bukan tidak mungkin, mereka yang sedang berkompetisi dalam ajang politik, sama-sama sedang melakukan "politisasi" terhadap agama mayoritas di negeri ini, disadari maupun tidak. Agama sudah semakin jauh masuk kedalam wilayah politik yang dibuktikan melalui berbagai narasinya yang justru bercitra negatif, tidak positif.

Bahasa agama sepertinya memainkan peran cukup penting dalam meraup berbagai keuntungan elektabilitas, tak peduli soal ambruknya nilai-nilai moralitas. Saya kira, kita patut meneladani adagium terkenal soal pemisahan agama dan politik yang juga pernah digaungkan Buya Hamka ketika masa-masa revolusi kemerdekaan. 

Biarkanlah agama menjadi bagiannya dalam konsep dan praktik keagamaan dengan bahasa yang "disakralkan" secara agama. Ketika bahasa agama menjadi hegemoni dalam kegiatan politik dan dibahasakan sesuai selera politisi, maka hal ini sama halnya tak berlaku lagi soal dikotomisasi agama-politik.

Desakralisasi bahasa-bahasa agama seakan menemukan momentumnya disini, bahkan tak jarang justru menjadi pemicu konflik dalam hal perebutan kekuasaan. Bahkan, agama kehilangan kesakralannya karena terus menerus dijadikan komoditas dalam narasi politik kekuasaan yang bersifat profan.

Penting untuk diingat, bahwa sebagai negara yang mempraktikkan cara-cara berdemokrasi, masing-masing pihak seharusnya mengembalikan fokus politiknya dalam ajang kompetisi yang juga lebih bernilai demokratis. Narasi-narasi politik semestinya dapat menghindari penggunaan istilah bahasa agama yang justru mengaburkan bahkan mendistorsi istilah-istilah keagamaan tersebut. 

Kita justru sedang "melawan" narasi agama agar tetap "sakral" pada tempatnya, bukan malah mencemarinya dengan memperhadapkannya dengan narasi kepolitikan sepihak. Mari berkompetisi secara demokratis dengan tetap berada di jalur fatsoen politik yang membangun dan mencerdaskan publik, bukan sekadar ajang pertarungan narasi yang malah kebablasan "memperkosa" bahasa agama menjadi sekadar pemenuhan ambisi politik sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun