Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Matinya Wahabisme dan Proyek "Bikini" Arab Saudi

10 Agustus 2017   14:50 Diperbarui: 10 Agustus 2017   15:42 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejauh ini, Wahabisme dikenal sebagai sebuah ideologi tertutup yang lekat dicitrakan pihak luar terhadap Arab Saudi. Secara umum, Wahabisme dinilai ekstra ketat terhadap berbagai upaya pembaruan, karena pembaruan hanya dianggap sebagai sarana perusak bagi "kemurnian" ajaran Islam. Paradigma keagamaan yang mereka bangun terkesan monoton, hitam-putih, halal-haram, mengingat segala hal yang tidak sesuai dengan pandangan mereka, dianggap sebuah pelanggaran terhadap agama. Praktik-praktik tradisi keagamaan, seperti ziarah kubur, atau mengadakan peringatan hari besar keagamaan lainnya, dianggap "sesat" oleh mereka dan tak pernah ditolelir sebagai bagian dari tradisi keagamaan yang berkaitan dengan ajaran Islam.

Arab Saudi jelas dibangun atas dasar konsorsium antara klan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabisme) dan keluarga Saud yang kemudian mengikatkan diri dalam sebuah "kontrak politik". Kesepakatan politik ini pada akhirnya menempatkan keluarga Saud sebagai penguasa yang sah dengan tentu saja memperoleh dukungan "legitimasi agama" dari kelompok Wahabi. Ideologi Wahabisme sejauh ini, memang cukup berpengaruh terhadap jalannya kekuasaan politik dinasti Saud, karena paham ini benar-benar menjadi ajaran resmi yang diakui dan dipraktikkan oleh otoritas kerajaan Arab Saudi.

Sulit memang memisahkan Wahabisme dengan Arab Saudi, sehingga cara pandang dunia luar terhadap Saudi, tak pernah lepas dari kesan ideologi tertutup yang dibangun antara keluarga Saud dan klan Wahabi. Namun, apakah benar cara pandang dunia luar sejauh ini? Saya kira, jika melihat pada proses transformasi sosial di Arab Saudi, terutama jika dibaca dalam konteks industri dan pendidikan, ideologi Wahabisme, nampaknya hampir tidak lagi berlaku. Negeri penghasil minyak dunia ini, tak mungkin lepas dari berbagai penetrasi kebudayaan, akibat kebutuhan tenaga kerja asing yang tentu saja berdampak pada masuknya berbagai budaya yang berasal dari "luar". Proses transformasi ini sudah berjalan sekian lama, sehingga disadari maupun tidak, ideologi Wahabisme yang dianggap ketat, berangsur-angsur melemah dan mungkin tak pernah diterapkan lagi.

Modernisme Arab Saudi terjadi hampir merata dalam semua bidang, termasuk budaya dan gaya hidup, pendidikan, industri bahkan kota suci seperti Mekkah dan Madinah-pun ternyata terimbas modernisasi. Walaupun di kedua Kota Suci ini masih tetap dipertahankan berbagai "tradisi Islam" yang dijaga ketat, namun di beberapa kota lainnya di Saudi justru menunjukkan kehidupan modern yang mungkin jarang sekali kita saksikan. Benar sekali seperti apa yang digambarkan Sumanto Al-Qurtubi, salah seorang dosen di Universitas Al-Fahd, Arab Saudi, bahwa terkadang apa yang dicitrakan orang luar terhadap Saudi tidak seluruhnya benar. Kesan "ketat" sebagai penganut Wahabisme justru hampir tak ditemukan, ketika melihat perubahan masyarakat Saudi yang mulai lebih terbuka.

Sumanto lebih jauh menjelaskan, bahwa Arab Saudi bukanlah komunitas tunggal, tetapi banyak juga faksi masyarakat yang terkadang saling bertentangan. Kondisi geografis di Saudi, tak ubahnya seperti di Indonesia, yang memiliki karakter masyarakat dan budaya yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Memang, Saudi bagian Utara yang berbatasan dengan Jordan tampak lebih ketat, berbeda dengan Saudi bagian Timur yang sudah lebih jauh memodernisasi dirinya. Saudi bagian Timur sangat kuat modernisasinya bahkan kesan "kebarat-baratan" sangat mudah dijumpai disana. Dalam banyak hal, Saudi sebenarnya telah mengalami "revolusi budaya" secara besar-besaran, namun tak banyak diketahui dunia luar.

Saya kira sangat wajar, jika kemudian rencana modernisasi Saudi 2030 yang saat ini sedang digarap akan lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi pariwisata. Saudi sadar, ditengah anjloknya harga minyak dunia tak mungkin menjadikan minyak sebagai satu-satunya andalan bagi devisa kerajaan. Putra Mahkota Raja Salman, Mohammed bin Salman bin Abdul Aziz bin Saud mengumumkan rencana membangun kawasan wisata sepanjang 180 kilometer pantai Laut Merah. Namun lagi-lagi, keinginan membangun wisata pantai, tak akan mampu menarik wisatawan asing, jika masih berkutat pada pengetatan ideologi Wahabisme yang tertutup. Pangeran Mohammed harus berani keluar dari zona kebekuan Wahabisme dan meyakinkan wisatawan bahwa wisata pantai yang hendak dibangun tidak melarang para wisatawan asing jika berbikini. Dengan memberlakukan hukum standar internasional, Saudi jelas telah meninggalkan bahkan mencampakkan Wahabisme yang selama ini mereka anut.

Lagi pula, modernisasi Saudi sejauh ini, tidak mendapatkan penolakan secara berarti dari berbagai komunitas muslim yang tinggal disana. Visi Saudi 2030 yang digarap Sang Putra Mahkota, secara keseluruhan merupakan alternatif bagi sumber devisa negara yang tidak melulu tergantung hanya pada sektor minyak, karena cadangan minyak di Saudi sudah pasti diyakini akan habis pada suatu saat. Melihat lebih jauh pada gagasan dan visi ekonomi Saudi saat ini, keberadaan bayang-bayang Wahabisme yang selama ini dianggap lekat, tampaknya tak bisa lagi dipandang menjadi bagian dari kontrak politik yang dahulu pernah diberlakukan. Pandangan pihak luar yang masih menganggap Saudi kental dengan ideologi Wahabisme-nya yang ketat, kini hanya tinggal sejarah berganti dengan Arab yang lebih modern, tak ubahnya seperti negara-negara di Eropa dan Amerika.

Dengan demikian, kiranya mudah disimpulkan, bahwa keberadaan Wahabisme yang ekstrem, justru semakin menjauh dan keluar dari wilayah Saudi, menjajaki wilayah-wilayah lain yang memiliki kedekatan budaya dengan mereka. Indonesia, barangkali salah satu dari target utama Wahabisme yang belakangan justru terkesan sangat menguat. Simbolisasi Arab justru kental di negeri ini, baik dari cara berpakaian, berkomunikasi atau membentuk kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Sebuah kondisi paradoks, disaat orang-orang Arab justru memodernisasi dirinya melalui sebuah  revolusi budaya dengan meninggalkan Wahabisme, tetapi di Indonesia sebaliknya, nuansa kental "kearab-araban" justru sedang menjangkiti masyarakatnya sekaligus mengadopsi ideologi Wahabisme secara lebih ketat. Wahabisme memang tampak mati di Arab, tapi ideologi ini tersebar dan menguat di wilayah lain, termasuk Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun