Bayangkan kita sedang memotret matahari terbenam di pantai. Kita angkat ponsel, atur sudut, lalu klik. Foto yang indah pun tersimpan. Tapi, pernahkah kita sadar bahwa saat memotret itu, kita sudah tidak benar-benar melihat matahari terbenam? Kita lebih sibuk membingkai keindahan itu dalam layar kecil. Kita tidak lagi hadir sepenuhnya di pantai, karena perhatian kita telah berpindah ke kamera. Di situlah, tanpa kita sadari, kita sedang hidup di bawah pengaruh enframing.
Istilah ini berasal dari filsuf Jerman, Martin Heidegger, yang menulis tentang hakikat teknologi di pertengahan abad ke-20. Ia mengingatkan bahwa teknologi bukan cuma soal alat: bukan hanya ponsel, komputer, atau robot. Teknologi, kata Heidegger, adalah cara kita menyingkap dunia---cara kita memandang, menilai, dan memperlakukan segala sesuatu di sekitar kita. Ketika teknologi menjadi kacamata utama kita dalam melihat dunia, kita mulai terjebak dalam suatu cara berpikir yang ia sebut enframing (dalam bahasa Jerman: Ge-stell).
Dunia yang Disulap Jadi "Sumber Daya"
Dalam enframing, manusia tidak lagi melihat sesuatu sebagai "ada" yang utuh dan bermakna, melainkan sebagai sumber daya yang bisa digunakan. Sungai bukan lagi sungai, tetapi "cadangan air" atau "potensi energi listrik". Hutan bukan lagi rumah kehidupan, tetapi "lahan produksi kayu". Bahkan manusia sendiri berubah menjadi "sumber daya manusia".
Cara pandang ini begitu halus dan masuk ke dalam hidup kita tanpa kita sadari. Kita menilai orang dari "manfaatnya": apakah dia produktif, efisien, atau menguntungkan. Kita memuji teknologi karena "mempercepat kerja", "meningkatkan hasil", "menghemat waktu". Semua dinilai dari fungsi dan faedah, bukan dari makna.
Padahal, kata Heidegger, di situlah bahaya teknologi modern: ia membuat kita kehilangan cara lain dalam memahami dunia. Kita tidak lagi melihat benda sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana gunanya. Dunia menjadi seperti gudang besar penuh barang yang siap dipakai kapan saja. Dunia tidak lagi kita tinggali---melainkan kita kendalikan.
Diri Kita Juga Terbingkai
Dampak enframing paling terasa ketika kita melihat diri sendiri. Lihat saja bagaimana media sosial bekerja. Kita menghitung "nilai diri" dari jumlah likes dan followers. Kita mengatur pencahayaan, memilih filter, menata kata agar postingan kita "terlihat sempurna". Kita mengukur kebahagiaan dari statistik digital, bukan dari rasa hidup yang sesungguhnya.
Dalam cara berpikir enframing, diri kita berubah menjadi proyek efisiensi pribadi. Kita sibuk mengoptimalkan diri: tubuh harus ideal, waktu harus produktif, karier harus naik terus. Semua diukur, dipantau, dan dibandingkan. Kita bahkan jarang punya waktu untuk sekadar bosan---karena kebosanan dianggap tidak berguna. Padahal justru dalam kebosanan, manusia sering menemukan makna hidup yang paling dalam.
Heidegger tidak mengatakan teknologi itu jahat. Yang berbahaya bukan alatnya, tetapi cara berpikir di balik penggunaannya. Ketika kita selalu bertanya "apa gunanya?", kita kehilangan kemampuan untuk bertanya "apa maknanya?". Dan begitu pertanyaan kedua itu hilang, manusia pelan-pelan kehilangan kedalaman dirinya sendiri.
Mengapa Masyarakat Perlu Memahami Ini?
Bagi masyarakat modern, memahami enframing sangat penting karena inilah penyakit halus zaman kita: kita tahu banyak, tapi memahami sedikit. Kita memiliki akses informasi tanpa batas, namun kehilangan ruang refleksi. Kita bisa menjelaskan cara kerja mesin, tetapi tidak lagi mengerti bagaimana menjadi manusia di tengah mesin-mesin itu.
Di dunia pendidikan, misalnya, kita sering mengukur keberhasilan dari nilai, ranking, dan sertifikat. Padahal tujuan belajar sejati adalah membentuk manusia yang mampu berpikir dan merasa. Tapi dalam logika enframing, belajar hanya dianggap "investasi" untuk pekerjaan. Murid/mahasiswa dipandang sebagai "bahan mentah" yang harus "diolah" agar siap pakai di pasar kerja. Sekolah/kampus pun berubah menjadi pabrik, bukan taman berpikir.