Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kekerasan Baru, dari Pukulan ke Kata-Kata

8 Agustus 2025   05:00 Diperbarui: 7 Agustus 2025   23:21 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika kita menyebut tamparan sebagai bentuk kekerasan. Kini, kita menyebut kata-kata sebagai gurauan. Padahal di dalam banyak rumah, ejekan yang mengalir tiap pagi, bentakan karena PR yang belum selesai, dan cemoohan saat nilai anak jeblok bisa lebih tajam dari sabetan rotan. Kita pikir zaman sudah lebih manusiawi karena anak-anak tak lagi dipukul. Tapi bagaimana jika kita hanya mengganti cambuk dengan lidah---dan mengira itu baik-baik saja?

Sebuah studi yang terbit di BMJ Open pada Agustus 2025 mengguncang kepercayaan umum kita. Berdasarkan analisis terhadap lebih dari 20.000 orang dewasa di Inggris, ditemukan bahwa anak yang mengalami kekerasan verbal dari orang tua memiliki risiko 64% lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental saat dewasa. Angka ini lebih tinggi daripada kekerasan fisik, yang "hanya" meningkatkan risiko sebesar 52%.

Yang lebih mengkhawatirkan, tren kekerasan fisik memang menurun. Tetapi kekerasan verbal justru meningkat. Artinya, masyarakat tampaknya sedang beralih dari cara lama yang kasar ke cara baru yang... tampaknya lebih halus, tetapi tidak kalah merusaknya. Dari 12% pada generasi kelahiran sebelum 1950, kekerasan verbal kini meningkat menjadi 20% di kalangan generasi kelahiran 2000 ke atas. Seolah-olah, ketika tangan ditahan, mulut tak lagi punya rem.

Data ini menyentil sesuatu yang selama ini luput: bahwa kata-kata bisa menjadi senjata, dan sayangnya, itu sering dianggap sepele. Bentakan "kamu bodoh!", ejekan "anak gagal!", atau sarkasme seperti "kapan kamu bisa bikin orang tua bangga?" kerap dilontarkan orang tua tanpa menyadari jejak panjang yang ditinggalkannya dalam jiwa anak. Luka semacam itu tidak berdarah, tapi bisa bertahan seumur hidup.

Barangkali ini buah dari gaya asuh masa kini yang sedang mencari bentuk. Dalam banyak keluarga urban maupun semi-urban, disiplin masih dipandang perlu, tetapi disampaikan lewat emosi. Sementara itu, tekanan sosial, ekonomi, dan pekerjaan membuat banyak orang tua kehilangan ruang untuk berefleksi---apalagi belajar ulang cara membesarkan manusia kecil di rumah. Tak heran, saat anak rewel, orang tua merespons dengan bentakan; saat anak lambat belajar, yang keluar adalah cemoohan. Karena yang tidak dipukuli dianggap tidak dikasari.

Padahal, studi itu juga menunjukkan bahwa gabungan kekerasan fisik dan verbal membuat kondisi kesehatan mental jauh lebih buruk: hampir 29% peserta yang mengalami keduanya memiliki tingkat kesejahteraan mental yang rendah. Sementara mereka yang tidak mengalami kekerasan hanya 16%. Artinya, penghinaan dan ancaman secara verbal bukan hanya pelengkap penderitaan---melainkan sumber luka utama.

Kita patut bertanya: apa yang sedang diwariskan pada generasi mendatang? Apakah kita sedang mencetak generasi yang secara fisik lebih aman, tetapi secara mental lebih rapuh? Apakah kita sedang mengajarkan bahwa luka di tubuh harus dihindari, tetapi luka di jiwa bisa ditoleransi?

Pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan seminar tentang pengasuhan semata. Perlu pendekatan kultural dan struktural, dari sekolah, media, hingga negara. Kita terlalu lama mengandalkan 'kesadaran individu' dalam urusan yang dampaknya kolektif. Butuh intervensi lebih luas agar orang tua punya akses ke model pengasuhan yang sehat dan suportif. Tidak cukup hanya mengampanyekan "stop kekerasan pada anak", tetapi juga harus digaungkan "mulailah bicara dengan cinta, bukan dengan caci".

Kata-kata tidak gratis. Setiap kata memiliki konsekuensi psikologis, terutama ketika dilontarkan oleh figur otoritatif seperti orang tua, guru, atau pengasuh. Bahasa adalah cara membentuk dunia batin anak, dan dunia batin itu akan menjadi fondasi cara mereka melihat diri sendiri, orang lain, dan masa depan.

Sebagaimana kata Jessica Bondy, pendiri organisasi Words Matter, "kata-kata bisa melukai dalam diam dan meninggalkan dampak seumur hidup." Pernyataan ini bukan sekadar slogan, tapi seruan bagi masyarakat modern untuk tidak hanya membangun rumah yang aman secara fisik, tetapi juga aman secara emosional dan verbal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun