Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Fals ke Fasih: Pelajaran dari Kepercayaan Diri

6 Juli 2025   10:58 Diperbarui: 6 Juli 2025   10:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya mantan mahasiswa yang---kalau boleh jujur---unik. Bukan karena nilainya, bukan pula karena makalahnya yang luar biasa (karena, yah... biasa saja). Tapi karena keberaniannya tampil di media sosial. Dia sering sekali mengunggah video dirinya menyanyi. Bukan cuma satu dua, tapi puluhan. Sambil main gitar, kadang karaoke, kadang hanya berdiri di halaman rumah dengan suara lantang.

Masalahnya, dulu suaranya fals.

Bukan fals yang bisa dimaafkan karena genre eksperimental atau gaya nyanyi ala-ala indie. Ini fals yang bikin alis naik dan jari otomatis menggeser layar ke atas. Tapi yang membuat saya tidak bisa sepenuhnya mengabaikannya adalah keberaniannya. Dia tidak tampak malu. Dia bahkan tampak menikmati proses menyanyi itu. Sambil senyum, menyapa pengikutnya, dan sesekali memberi caption bijak, seperti "Suara hati tak harus sempurna untuk didengar."

Saya pikir, ini orang luar biasa pede. Di tengah dunia digital yang kejam, di mana satu nada meleset bisa jadi bahan ketawaan massal, dia tetap nyanyi. Tetap posting. Tetap fals.

Waktu berlalu. Saya tidak sengaja membuka kembali akun media sosialnya beberapa bulan lalu. Tiba-tiba saya berhenti menggulir. Saya menonton ulang---dan saya tertegun. Dia masih menyanyi. Tapi kini, suaranya mulai enak didengar. Ia mulai pas dengan irama musik. Tak ada lagi ketegangan yang dulu saya rasakan waktu menonton. Ia kini lebih tenang, lebih terkendali, dan lebih menyatu dengan lagu.

Saya tersenyum, bukan lagi karena geli, tapi karena kagum. Ternyata rasa percaya diri itu tidak hanya bisa membuat orang bertahan, tapi juga berkembang. Kadang kita berpikir bahwa kemampuan itu datang duluan, baru kemudian keberanian menyusul. Tapi dari dia, saya belajar bahwa kadang justru keberanianlah yang lebih dulu datang. Lalu kemampuan akan menyusul jika kita cukup sabar untuk bertahan dalam ketidaknyamanan.

Kita sering takut tampil karena merasa belum cukup baik. Tapi siapa yang bisa benar-benar siap sebelum mencoba? Banyak dari kita yang lebih memilih diam karena takut ditertawakan, padahal yang paling kita butuhkan hanyalah konsistensi---dan ketebalan muka yang sehat.

Mantan mahasiswa saya itu tidak belajar di studio mahal. Tapi ia belajar dari setiap video yang ia unggah, dari setiap komentar, dan mungkin dari setiap senyum setengah mengejek yang ia abaikan. Ia menertawakan dirinya sendiri, lalu bernyanyi lebih keras. Dan kini, ia mulai menemukan nadanya.

Dunia ini terlalu ramai dengan penonton yang sok jadi juri. Tapi ia memilih tetap naik ke panggung, walaupun panggungnya cuma halaman rumah dan penontonnya kadang cuma algoritma.

Saya kira, pelajaran hari ini sederhana tapi dalam: percaya diri mungkin tidak membuat kita langsung sempurna, tapi ia membuat kita bergerak. Dan kadang, bergerak terus-menerus adalah satu-satunya cara untuk sampai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun