Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa dengan aturan. Dari lampu merah sampai pajak kendaraan, semua diatur oleh negara. Tapi pernahkah kita bertanya: kenapa kita harus tunduk pada negara? Apa karena negara memberi kita jalan tol, sekolah negeri, dan listrik bersubsidi?
Ada pandangan populer yang bilang: selama negara menjalankan tugasnya---melindungi hak rakyat, menyediakan layanan publik, dan menjaga keamanan---maka kita wajib patuh. Ini disebut fungsionalisme: negara sah asal fungsinya berjalan. Tambahkan sedikit prinsip fair play---karena semua orang ikut menikmati manfaat, maka semua juga punya kewajiban taat aturan. Sekilas, masuk akal.
Tapi bagaimana kalau negara itu datang bukan karena kita memilihnya, tapi karena ia datang tanpa diundang? Misalnya, karena sejarah penaklukan, penjajahan, atau aneksasi sepihak?
Seorang filsuf politik, Arthur Hill (2023), mempertanyakan asumsi fungsionalisme ini. Ia bilang: "Kok bisa, sebuah negara merasa sah hanya karena memberi manfaat, padahal ia masuk ke wilayah orang lain tanpa persetujuan?" Hill menyebut ini sebagai masalah aneksasi. Negara bisa saja efisien dan baik hati, tapi tetap tidak sah jika hadir dengan cara yang salah.
Contohnya begini. Bayangkan ada sebuah negara kuat, sebut saja Meganesia, yang mencaplok provinsi dari negara tetangganya karena alasan keamanan. Mereka membangun jalan, memberi sekolah, bahkan membebaskan pajak selama dua tahun. Warga lokal dapat banyak manfaat. Tapi apakah itu berarti Meganesia sah memerintah wilayah itu?
Jawaban banyak orang: tidak. Karena rakyat di sana tidak pernah diminta pendapatnya.
Hill bilang, otoritas negara tidak bisa sekadar dinilai dari "manfaat" yang diberikan. Yang lebih penting adalah apakah rakyat merasa bagian dari negara itu dan diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kalau rakyat tidak merasa memiliki, maka sebaik apapun negara bekerja, itu tetap seperti orang asing yang masuk rumah kita lalu mengatur dapur tanpa izin.
Situasi ini tidak asing di Indonesia. Sejarah kita penuh dengan cerita penggabungan wilayah: dari Aceh, Maluku, Papua, sampai Timor Timur yang akhirnya memilih keluar. Pertanyaannya: apakah semua integrasi itu terjadi karena rakyatnya mau? Atau karena "negara datang dengan niat baik"---tapi tanpa undangan?
Kita juga sering mendengar frasa "NKRI harga mati". Tapi harga mati buat siapa? Apakah semua orang merasa diperlakukan adil dan diikutsertakan dalam menentukan masa depan politiknya? Atau hanya jadi penonton di negara sendiri?
Hill mengingatkan, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) adalah elemen penting dalam legitimasi politik. Rakyat bukan hanya perlu merasa "dilayani", tapi juga harus merasa berdaulat atas pilihan politik mereka. Kalau negara hanya fokus pada pelayanan tanpa memperhatikan kehendak rakyat, itu seperti bos yang baik tapi tidak pernah merekrut karyawan lewat wawancara.