Tapi siapa yang berhak menentukan normal?
Sepeda ini menjawab dengan diamnya yang lantang:
"Normal adalah konstruksi sosial, dan saya menolak kontrak itu."
Simbolisme Absurd
Kalau kamu membawa sepeda ini ke jalan raya, kemungkinan besar kamu akan ditilang. Bukan karena melanggar hukum, tapi karena melanggar estetika. Polisi akan bingung: apakah ini sepeda, patung, atau kritik sosial yang bergerak?
Masyarakat pun akan terbelah. Kaum konservatif akan menyebutnya "merusak tatanan transportasi."
Kaum progresif akan memotretnya dan memberi caption: "Inilah bentuk demokrasi: bengkok tapi eksis."
Dan saya? Saya akan duduk di warung kopi, sambil mengisap pemikiran. Saya akan bilang:
"Sepeda ini seperti negara: dibuat untuk bergerak maju, tapi desainnya sering tak masuk akal."
Eksistensialisme di Atas Sadel
Jean-Paul Sartre pernah berkata bahwa keberadaan mendahului esensi. Dalam konteks sepeda ini, keberadaan si sepeda yang absurd lebih penting dari fungsinya. Ia tidak perlu dikayuh untuk memiliki makna. Justru dalam ketidakberfungsian itulah, ia berbicara paling keras.
Bayangkan kita semua adalah sepeda. Ada yang road bike, ada yang fixie, ada yang ontel tua, dan ada juga yang seperti ini---bengkok dan membingungkan. Tapi apakah nilai kita ditentukan oleh seberapa cepat kita melaju? Atau seberapa sering kita dibunyikan belnya?
Tidak. Nilai kita ada pada keberanian kita untuk menjadi diri sendiri---meski bentuk kita tidak sesuai standar.
Terakhir, Sepeda adalah Kita
Dalam masyarakat yang mengukur segalanya dari KPI, IPK, QPI, dan segala macam akronim birokratis, sepeda ini datang seperti puisi yang ditulis di atas surat keputusan. Ia mengganggu. Ia absurd. Ia tidak efisien. Tapi justru karena itulah, ia penting.