Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sepeda Bengkok dan Negara Lurus-Lurus Saja

20 Mei 2025   06:46 Diperbarui: 20 Mei 2025   06:46 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepeda bengkok. (Sumber: velo-design.com/max-chen-art-velo1)

Tapi siapa yang berhak menentukan normal?

Sepeda ini menjawab dengan diamnya yang lantang:

"Normal adalah konstruksi sosial, dan saya menolak kontrak itu."

Simbolisme Absurd

Kalau kamu membawa sepeda ini ke jalan raya, kemungkinan besar kamu akan ditilang. Bukan karena melanggar hukum, tapi karena melanggar estetika. Polisi akan bingung: apakah ini sepeda, patung, atau kritik sosial yang bergerak?

Masyarakat pun akan terbelah. Kaum konservatif akan menyebutnya "merusak tatanan transportasi."
Kaum progresif akan memotretnya dan memberi caption: "Inilah bentuk demokrasi: bengkok tapi eksis."

Dan saya? Saya akan duduk di warung kopi, sambil mengisap pemikiran. Saya akan bilang:

"Sepeda ini seperti negara: dibuat untuk bergerak maju, tapi desainnya sering tak masuk akal."

Eksistensialisme di Atas Sadel

Jean-Paul Sartre pernah berkata bahwa keberadaan mendahului esensi. Dalam konteks sepeda ini, keberadaan si sepeda yang absurd lebih penting dari fungsinya. Ia tidak perlu dikayuh untuk memiliki makna. Justru dalam ketidakberfungsian itulah, ia berbicara paling keras.

Bayangkan kita semua adalah sepeda. Ada yang road bike, ada yang fixie, ada yang ontel tua, dan ada juga yang seperti ini---bengkok dan membingungkan. Tapi apakah nilai kita ditentukan oleh seberapa cepat kita melaju? Atau seberapa sering kita dibunyikan belnya?

Tidak. Nilai kita ada pada keberanian kita untuk menjadi diri sendiri---meski bentuk kita tidak sesuai standar.

Terakhir, Sepeda adalah Kita

Dalam masyarakat yang mengukur segalanya dari KPI, IPK, QPI, dan segala macam akronim birokratis, sepeda ini datang seperti puisi yang ditulis di atas surat keputusan. Ia mengganggu. Ia absurd. Ia tidak efisien. Tapi justru karena itulah, ia penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun