Bayangkan seseorang berdiri terpaku, matanya menatap kagum pada sebuah kotak kaca berisi gulungan selang pemadam kebakaran di dinding museum. Ia pikir itu adalah seni instalasi kontemporer. Lucu? Mungkin. Tapi jika kita mau jujur, adegan itu adalah cermin menyedihkan dari betapa jauhnya masyarakat kita dari pemahaman dan penghargaan terhadap seni.
Seni, yang seharusnya menjadi bahasa ekspresi, pemantik pemikiran, dan ruang kontemplasi, kini terpinggirkan, dikecilkan, bahkan dihilangkan dari kesadaran publik. Masyarakat kita telah lama diajarkan untuk menghafal rumus, mengejar nilai, dan memburu pekerjaan tetap---namun tidak pernah diajarkan untuk merasakan, memahami, apalagi mencintai seni.
Kita hidup di tengah masyarakat yang gagap terhadap bentuk-bentuk ekspresi visual. Lukisan dilihat sebagai coretan tak bermakna, patung sering disalahpahami sebagai benda yang tak pantas atau asing bagi sebagian orang, dan instalasi dipandang sebagai tumpukan barang rongsokan yang kebetulan dipajang dengan pencahayaan mahal. Kita mencibir seni sebagai sesuatu yang "nggak penting", "nggak menghasilkan", dan "cuma untuk orang kaya yang kebanyakan waktu."
Padahal seni adalah napas kebudayaan. Seni adalah wujud dari rasa. Tanpa seni, hidup manusia hanya menjadi mesin ekonomi yang kering, beku, dan dangkal.
Rendahnya Pendidikan Seni Sejak Dini
Kondisi ini tentu tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil dari proses pendidikan kita yang sistematis menyingkirkan seni dari ruang belajar. Di tingkat PAUD dan TK, kegiatan menggambar dan bernyanyi memang masih ada, tetapi sebatas kegiatan pengisi waktu. Tidak pernah ada upaya serius untuk mengenalkan seni sebagai bentuk ekspresi, apalagi mengenalkan nilai-nilai estetika atau makna simbolis dari karya seni.
Di tingkat SD dan SMP, pelajaran seni hanya jadi formalitas. Sebagian besar guru seni bukanlah praktisi atau pecinta seni, melainkan guru serabutan yang ditugaskan mengajar karena jam kosong. Tak jarang, siswa hanya diminta meniru gambar dari buku teks, mewarnai dengan krayon murah, atau membuat prakarya seadanya dari kertas bekas.
Pertanyaan yang menyakitkan: kapan terakhir kali kita mendengar guru menjelaskan mengapa lukisan Van Gogh begitu menyentuh, atau bagaimana seni rupa bisa menjadi kritik sosial? Kapan siswa diajak berdialog tentang makna seni dalam kehidupan, bukan sekadar "bikin poster bertema lingkungan"?
Jawabannya hampir tidak pernah.
Mengapa Ini Berbahaya?
Seni bukan sekadar pelengkap kurikulum. Seni melatih kepekaan. Ia mengajarkan empati, membuka ruang kontemplasi, dan memperluas cakrawala berpikir. Ketika seni diabaikan, maka kita sedang membesarkan generasi yang kering imajinasi dan miskin rasa. Generasi yang tidak tahu bagaimana menghargai proses kreatif, tidak bisa membedakan mana ekspresi dan mana manipulasi.
Lebih dari itu, seni juga adalah ruang aman untuk menyuarakan kritik, menyampaikan keresahan, dan memaknai hidup. Ketika ruang ini mati, maka suara-suara kecil dalam masyarakat ikut padam. Masyarakat yang tidak mencintai seni adalah masyarakat yang mudah dibungkam, karena mereka tidak punya bahasa untuk melawan atau menyuarakan nurani.
Budaya yang Membunuh Kreativitas
Ironisnya, dalam masyarakat kita, anak yang jago matematika akan dipuji sebagai "pintar", sedangkan anak yang bisa menggambar hanya dianggap "berbakat". Kegiatan menggambar, melukis, membuat film pendek, atau menulis puisi, semuanya dianggap "hobi belaka"---bukan potensi, bukan keahlian, dan jelas bukan jalan hidup yang "layak".
Padahal, di negara-negara maju, seni justru dimasukkan ke dalam jantung pendidikan. Anak-anak dikenalkan pada galeri, diajak diskusi soal karya seni, diajari bagaimana menyampaikan ide lewat bentuk visual dan suara. Mereka tumbuh menjadi individu yang berpikir bebas, berani berbeda, dan mampu membaca simbol.
Lalu kita heran, mengapa inovasi tak lahir dari negeri ini? Jawabannya: karena sejak kecil kita hanya diajari untuk meniru, bukan mencipta.
Saatnya Kita Bangkitkan Seni
Sudah saatnya pendidikan seni diposisikan sebagai pilar penting dalam pembentukan karakter bangsa. Pemerintah harus berani menginvestasikan lebih banyak untuk pelatihan guru seni, membuka akses ke ruang-ruang budaya, serta menyusun kurikulum seni yang tidak hanya teknis, tapi juga filosofis.
Sekolah harus berhenti menganggap pelajaran seni sebagai "jam istirahat berkedok belajar". Seni harus masuk dalam setiap lini pendidikan: dari pelatihan apresiasi di PAUD, eksplorasi bentuk di SD, sampai kritik seni di SMA. Guru harus diberi kebebasan untuk membawa siswa ke museum, galeri, atau mengundang seniman untuk berbagi pengalaman.
Dan bagi masyarakat luas, mari berhenti menertawakan seni yang tidak kita mengerti. Kadang, ketidakpahaman kita adalah karena kita belum belajar, bukan karena seninya tidak masuk akal.
Dari Selang Menuju Kesadaran
Lucu memang melihat seseorang mengagumi selang pemadam seperti karya seni. Tapi yang lebih tragis adalah ketika seluruh bangsa tidak bisa membedakan seni dari alat pemadam kebakaran. Itu bukan soal pengetahuan---itu soal hilangnya sensitivitas. Dan saat sensitivitas mati, maka perlahan, kemanusiaan kita ikut mati.
Mari hidupkan kembali seni, bukan sebagai pajangan, tapi sebagai denyut hidup kita. Sebab bangsa tanpa seni adalah bangsa tanpa jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI