Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Potret Buram Pendidikan dan Apresiasi Seni Kita

18 April 2025   17:31 Diperbarui: 18 April 2025   17:31 2012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi potret buram pendidikan seni kita. (Images generated by AI)

Ironisnya, dalam masyarakat kita, anak yang jago matematika akan dipuji sebagai "pintar", sedangkan anak yang bisa menggambar hanya dianggap "berbakat". Kegiatan menggambar, melukis, membuat film pendek, atau menulis puisi, semuanya dianggap "hobi belaka"---bukan potensi, bukan keahlian, dan jelas bukan jalan hidup yang "layak".

Padahal, di negara-negara maju, seni justru dimasukkan ke dalam jantung pendidikan. Anak-anak dikenalkan pada galeri, diajak diskusi soal karya seni, diajari bagaimana menyampaikan ide lewat bentuk visual dan suara. Mereka tumbuh menjadi individu yang berpikir bebas, berani berbeda, dan mampu membaca simbol.

Lalu kita heran, mengapa inovasi tak lahir dari negeri ini? Jawabannya: karena sejak kecil kita hanya diajari untuk meniru, bukan mencipta.

Saatnya Kita Bangkitkan Seni

Sudah saatnya pendidikan seni diposisikan sebagai pilar penting dalam pembentukan karakter bangsa. Pemerintah harus berani menginvestasikan lebih banyak untuk pelatihan guru seni, membuka akses ke ruang-ruang budaya, serta menyusun kurikulum seni yang tidak hanya teknis, tapi juga filosofis.

Sekolah harus berhenti menganggap pelajaran seni sebagai "jam istirahat berkedok belajar". Seni harus masuk dalam setiap lini pendidikan: dari pelatihan apresiasi di PAUD, eksplorasi bentuk di SD, sampai kritik seni di SMA. Guru harus diberi kebebasan untuk membawa siswa ke museum, galeri, atau mengundang seniman untuk berbagi pengalaman.

Dan bagi masyarakat luas, mari berhenti menertawakan seni yang tidak kita mengerti. Kadang, ketidakpahaman kita adalah karena kita belum belajar, bukan karena seninya tidak masuk akal.

Dari Selang Menuju Kesadaran

Lucu memang melihat seseorang mengagumi selang pemadam seperti karya seni. Tapi yang lebih tragis adalah ketika seluruh bangsa tidak bisa membedakan seni dari alat pemadam kebakaran. Itu bukan soal pengetahuan---itu soal hilangnya sensitivitas. Dan saat sensitivitas mati, maka perlahan, kemanusiaan kita ikut mati.

Mari hidupkan kembali seni, bukan sebagai pajangan, tapi sebagai denyut hidup kita. Sebab bangsa tanpa seni adalah bangsa tanpa jiwa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun