Paradoks ini juga mencuat dalam dunia akademik. Kita menyaksikan fenomena ledakan jumlah guru besar di berbagai perguruan tinggi, seolah itu menjadi indikator kemajuan pendidikan tinggi. Namun di balik angka-angka itu, kualitas sering kali tertinggal. Guru besar tumbuh secara kuantitatif, tapi tidak kualitatif. Banyak dari mereka miskin karya yang relevan dan berdampak nyata bagi masyarakat. Novelty penelitian rendah, publikasi lebih karena tuntutan administratif ketimbang semangat keilmuan. Guru besar tidak lagi menjadi mercusuar intelektual, melainkan sekadar jabatan administratif yang bisa dicapai dengan ketekunan prosedural, bukan keberanian berpikir kritis. Ini adalah contoh lain dari dua pohon kelapa: ada lebih banyak, tapi tak mengubah nasib siapa-siapa.
Maka, mari kita waspada terhadap optimisme yang tidak disertai keberanian untuk bertanya. Mari kita curigai motivasi dari setiap narasi yang terlalu cepat menyuruh kita "melihat sisi terang." Sebab kadang, dalam kegelapanlah kesadaran lahir. Dan dari kesadaran, lahirlah keinginan untuk benar-benar mengubah, bukan sekadar menambah pohon di pulau sunyi.
Dalam dunia yang terus menepuk bahu kita sambil berkata "tenang saja, masih ada dua pohon kelapa," kita harus berani berkata: "Ya, tapi kami tetap butuh perahu."
Dan mungkin, itulah awal dari pembebasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI