Jika seorang food vlogger terkenal mengatakan, "Makanan di tempat ini mengecewakan," maka ribuan pengikutnya bisa langsung menjadikannya sebagai kebenaran absolut, bahkan tanpa mencoba sendiri. Ini adalah masalah epistemik yang sering diabaikan: ketika pengalaman personal dijadikan standar universal.
Di sinilah pentingnya menyadari bahwa selera itu subjektif. Alih-alih mengatakan "Makanan ini buruk," lebih baik seorang reviewer menulis "Menurut saya, rasa makanan ini kurang cocok dengan preferensi saya." Dengan begitu, ulasan tetap memberikan informasi tanpa menghakimi secara absolut.
Etika dalam Review: Menghindari Kapitalisme Banal
Dalam kajian sosial, ada istilah kapitalisme banal---fenomena di mana segala sesuatu dikomodifikasi untuk kepentingan pasar, termasuk pengalaman makan. Di era digital, makanan bukan lagi sekadar makanan, tetapi juga konten. Warung kecil bisa tiba-tiba viral bukan karena makanannya luar biasa, tetapi karena seorang influencer menyajikannya dengan cara yang dramatis.
Yang berbahaya adalah ketika review makanan menjadi ajang eksploitasi. Beberapa influencer menggunakan status mereka untuk meminta makanan gratis dengan ancaman "Kalau tidak kasih, nanti saya kasih review jelek." Ini bukan lagi kritik kuliner, tapi pemerasan digital.
Sebaliknya, ada juga fenomena review berbayar yang penuh pujian meski kualitas makanan biasa saja. Ini menciptakan distorsi informasi di mana pelanggan percaya pada ulasan yang sebenarnya lebih mirip iklan terselubung.
Jadi, bagaimana seharusnya reviewer bersikap? Sederhana saja:
- Hindari hiperbola yang merusak---kritiklah dengan bahasa yang membangun, bukan menghancurkan.
- Sadari subjektivitas selera---jangan menjadikan preferensi pribadi sebagai kebenaran universal.
- Jujur tetapi bertanggung jawab---jangan biarkan ulasan menjadi alat eksploitasi.
Review dengan Akal Sehat
Jika dunia kuliner adalah panggung, maka reviewer adalah kritikus yang bisa mengangkat atau menjatuhkan pemainnya. Oleh karena itu, reviewer harus memiliki kesadaran etik dalam setiap kata yang mereka ucapkan atau tulis. Review makanan bukan sekadar soal rasa di lidah, tetapi juga soal dampak ekonomi, sosial, dan psikologis bagi pelaku usaha.
Pada akhirnya, etika review makanan bukan hanya tentang bagaimana kita berbicara tentang rasa, tetapi bagaimana kita menjaga keseimbangan antara kejujuran dan tanggung jawab. Sebab, dalam dunia digital yang serba cepat ini, satu ulasan bisa membuat restoran berkembang, tetapi juga bisa membuat dapur seseorang berhenti berasap.
Jadi, sebelum menulis ulasan makanan, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah saya sedang berbagi pengalaman, atau sedang memainkan senjata bernama opini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI