Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengurai Makna "Kue Bohong" dalam Panggung Politik Kita

6 Januari 2024   06:43 Diperbarui: 6 Januari 2024   06:44 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kue bohong (instagram.com/chiauling09)

Kue Bohong dan Politikus - Sepasang Saudara Kembar

Ah, "Kue Bohong" dari Medan - sejenis makanan yang mungkin telah menjadi inspirasi bagi sejumlah politikus kita. Ironis bukan, ketika kita memikirkan tentang kue ini, kita tak bisa mengabaikan kesamaan mencoloknya dengan karakter politikus tertentu: tampak menarik di luar, namun kosong di dalam.

Begitulah "Kue Bohong", dengan diameter seukuran telapak tangan, warna keemasan yang menggoda, dan bentuk yang menggiurkan. Namun, saat digigit, kita tersadar, it's all a facade! Bagian dalamnya kosong, tidak ada isi yang substansial, sebuah penipuan rasa yang halus. Bukankah ini mirip dengan janji-janji manis para politikus kita? Berkampanye dengan retorika yang menggebu-gebu, menjanjikan perubahan dan kemakmuran, namun setelah terpilih, apa yang kita dapat? Ruang hampa, kebijakan yang tidak jelas arah dan tujuannya, persis seperti "Kue Bohong".

Mengapa dinamakan "Kue Bohong"? Teori saya sederhana: kue ini adalah metafora sempurna untuk realita politik saat ini. Tampilan luar yang menjanjikan, tetapi isinya hampa. Mungkin inilah yang dimaksud dengan "style over substance". Bukankah ironis, di era di mana kita dijejali dengan informasi setiap detiknya, kita justru kekurangan substansi?

Dan mari kita tidak lupa, walaupun "Kue Bohong" populer di kedai-kedai kopi Medan, tidak berarti hal yang sama dapat kita katakan tentang politikus kita. Popularitas tidak selalu berarti kepercayaan. "Kue Bohong" mungkin laris karena rasanya yang unik dan harganya yang murah. Sementara itu, politikus kita... ah, biarlah pembaca yang menilai.

Mari kita akui, ada sedikit kekecewaan ketika kita menyantap "Kue Bohong". Kita berharap akan mendapatkan lebih dari sekadar lapisan luar yang renyah. Tapi apa daya, harapan sering kali hanya tinggal harapan. Sama seperti saat kita memberikan suara kita kepada politikus yang menjanjikan perubahan.

Kue Bohong dan Realita Sosial - Seni Menyembunyikan Kebenaran

Melanjutkan pemikiran tentang "Kue Bohong", kita terdorong untuk mempertanyakan lebih jauh: apakah keberadaan kue ini secara tak langsung menggambarkan realitas sosial kita? Dalam dunia yang sering kali lebih menekankan pada penampilan daripada esensi, "Kue Bohong" mungkin adalah simbol paling tepat untuk menggambarkan era kita.

Di satu sisi, "Kue Bohong" mungkin dianggap sebagai karya seni kuliner. Sebuah kreasi yang mengecoh mata dan lidah, dimana kekosongan di dalamnya menjadi bagian dari keunikan. Di sisi lain, bukankah ini juga mencerminkan bagaimana kita sering kali dibohongi oleh tampilan luar? Layaknya media sosial yang dipenuhi dengan gambaran kehidupan yang sempurna, yang sering kali jauh dari kenyataan. Kita hidup di zaman dimana kebenaran sering kali terdistorsi, disembunyikan di balik tampilan yang menarik.

Namun, mari kita tidak berhenti pada pengamatan semata. "Kue Bohong" juga mengajarkan kita tentang pentingnya pencarian isi, substansi yang sebenarnya. Dalam masyarakat yang sering kali hanya fokus pada tampilan luar, kue ini mengingatkan kita untuk selalu mengecek apa yang ada di dalam, untuk tidak mudah terlena oleh penampilan.

Mungkin inilah pesan tersembunyi dari "Kue Bohong": sebuah sindiran halus tentang bagaimana kita sering kali tertipu oleh penampilan. Di dunia politik, ini adalah pelajaran yang sangat berharga. Kita mungkin terpukau oleh retorika yang manis dan janji-janji yang menggiurkan, namun apa yang kita dapatkan sering kali jauh dari ekspektasi. Seperti "Kue Bohong", yang tampak menggoda, namun pada akhirnya hanya menawarkan rasa kekosongan.

Dalam konteks yang lebih luas, "Kue Bohong" bisa jadi adalah refleksi dari masyarakat kita sendiri. Sebuah masyarakat yang sering kali lebih mementingkan citra daripada realitas, yang lebih menghargai penampilan daripada substansi. Di era informasi yang melimpah ini, kita diajarkan untuk skeptis, untuk selalu mencari apa yang sebenarnya ada di balik fasad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun