Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"No Pic = Hoax", Sebuah Ungkapan Usang yang Wajib Dibuang

30 September 2023   11:44 Diperbarui: 30 September 2023   11:49 3976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Ilusi yang dihasilkan oleh teknologi pengolahan citra. Foto: Gerd Altmann dari Pixabay. 

Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, frasa seperti "No Pic = Hoax" telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari netizen. Ketika kita menemui status atau postingan di media sosial yang menimbulkan rasa penasaran atau bahkan keraguan, frasa ini sering muncul dalam komentar, menantang penulis untuk memberikan bukti visual guna melegitimasi keaslian informasi tersebut. Meskipun sering digunakan dalam konteks bercanda, ungkapan ini mencerminkan bagaimana masyarakat kontemporer melihat keberadaan bukti visual sebagai ukuran kebenaran informasi.

Namun, paradoksnya, di era digitalisasi, foto atau video, yang sebelumnya dianggap sebagai 'penguat yang sah,' saat ini dapat dengan mudah dimanipulasi hingga menjadi sangat sulit dibedakan dari objek asli. Kecerdasan buatan dan perangkat lunak pengolahan gambar kini memungkinkan pembuatan gambar yang terlihat realistis, membuat frasa "No Pic = Hoax" menjadi kurang relevan. Pada saat ini, kepercayaan kita pada realitas visual menghadapi dilema: apakah kita masih bisa percaya pada apa yang kita lihat?

Dalam konteks khusus ini, saya melanjutkan untuk menyelidiki diskusi tentang kebenaran dan keaslian di era digitalisasi dengan cermat. Penelitian tentang cara membedakan antara kenyataan dan pemalsuan semakin mendesak seiring berjalannya waktu. Di tengah kemajuan teknologi yang mengagumkan ini, bagaimana kita dapat memastikan bahwa apa yang kita anggap sebagai 'nyata' benar-benar autentik? Refleksi mendalam tentang kebenaran, realitas, dan ilusi dalam zaman kita menjadi tak terhindarkan.

***

Ilustrasi: Cermian diri antara realitas dan ilusi. Foto: Mohamed Hassan dari Pixabay 
Ilustrasi: Cermian diri antara realitas dan ilusi. Foto: Mohamed Hassan dari Pixabay 


Di tengah gemerlap teknologi dan ketergantungan kita pada dunia digital, pertanyaan mendalam muncul dari balik layar: Apa arti kebenaran dalam zaman ini? Di era yang semakin dikuasai oleh kecerdasan buatan, perubahan digital, dan realitas virtual, batasan antara kenyataan dan tipuan semakin kabur. Di satu sisi, kita saat ini tinggal di era kemakmuran penyebaran pengetahuan. Namun, di sisi lain, kita juga sedang mengalami periode yang ditandai oleh prevalensi informasi yang menyesatkan dan palsu.

Evolusi teknologi kecerdasan buatan telah membawa kemajuan yang memungkinkan kita untuk menciptakan gambar, suara, dan bahkan video dengan kualitas yang mengagumkan. Kemampuan ini, mungkin awalnya dianggap sebagai langkah maju bagi dunia seni dan kreativitas, kini semakin banyak digunakan dalam konteks yang menyesatkan dan tipu daya. Istilah seperti "deepfake" dan "media sintetis" telah menjadi bagian dari kosakata kita sehari-hari. Namun dengan biaya apa?

Sebagai individu dari spesies Homo Sapiens, kita selama ini selalu bergantung pada pengalaman sensorik kita untuk menguraikan dan memahami dunia di sekitar kita. Namun, ketika persepsi itu dengan mudah dapat diatur, kita menghadapi krisis epistemologi. Bagaimana kita bisa membedakan apa yang nyata dari yang palsu? Dan lebih lanjut, jika realitas bisa dengan mudah diproduksi, apa arti dari "nyata" pun menjadi dipertanyakan?

Media sosial, alat utama komunikasi dan interaksi di era digital, menjadi medan perang utama dalam perang informasi. Sebuah gambar, klip video, atau pernyataan bisa dengan mudah disebarluaskan, diubah, dan diterima sebagai kebenaran oleh jutaan orang. Dalam sekejap, narasi bisa dibentuk, pendapat terbentuk, dan realitas dibangun---atau setidaknya, apa yang dianggap sebagai realitas oleh banyak orang.

Namun, ada harapan. Di tengah krisis ini, kita menyaksikan munculnya gerakan skeptis dan filosofi baru yang mencari kebenaran di tengah kekacauan. Komunitas merangkul individu untuk menjadi lebih kritis, reflektif, dan terlibat dalam pencarian kebenaran. Sebagai respons terhadap manipulasi digital, aliran pemikiran yang menekankan pentingnya verifikasi, introspeksi, dan dialog terbuka mulai muncul.

Apakah ini adalah awal era pencerahan digital yang baru? Mungkin. Namun, penting untuk diakui bahwa seiring kita membuat kemajuan, kita akan tidak terhindarkan menemui hambatan baru. Seiring teknologi berkembang, demikian juga kemampuan kita untuk menipu dan diperdaya.

Kita hidup di zaman paradoks---sebuah era di mana informasi ada di ujung jari kita, namun kebenaran tampak semakin sulit dijangkau. Namun mungkin di tengah semua kebingungan dan ketidakpastian ini, ada peluang untuk menemukan makna yang mendalam, pemahaman yang lebih mendasar tentang apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang semakin kompleks.

***

Jean Baudrillard (1929--2007), seorang pakar teori kebudayaan, filsuf kontemporer, komentator politik, sosiolog, dan fotografer asal Prancis, mengenalkan konsepnya tentang "hyperreality." Ia berpendapat bahwa dalam era digital, realitas semakin sulit dibedakan dari simulasi. Ungkapannya yang terkenal adalah, "The simulacrum is never that which conceals the truth---it is the truth which conceals that there is none."

Simulacrum adalah konsep yang berasal dari filsuf Prancis Jean Baudrillard. Istilah ini merujuk pada representasi atau replika dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam dunia nyata. Dalam konteks simulacrum, ada beberapa tingkatan representasi yang dapat digambarkan:

  • Realitas: Ini adalah tingkat dasar dari apa yang ada dalam dunia fisik. Misalnya, sebuah objek nyata seperti sebuah buah apel.
  • Representasi: Ini adalah tingkat ketika sesuatu diwakili dalam gambar, teks, atau media lainnya. Misalnya, sebuah gambar apel di dalam buku pelajaran.
  • Simulacrum: Ini adalah tingkat ketika representasi itu sendiri menjadi kenyataan dan kehilangan hubungannya dengan objek asli yang mungkin tidak lagi ada atau mungkin tidak pernah ada. Ini adalah tingkat tertinggi dan paling kompleks dari representasi. Misalnya, jika seseorang mulai mempercayai bahwa gambar apel adalah apel sejati dan melupakan konsep asli apel dalam dunia nyata.

Baudrillard berargumen bahwa dalam masyarakat modern, kita semakin tenggelam dalam dunia simulacrum, di mana representasi semakin menggantikan kenyataan dan kita seringkali kehilangan kemampuan untuk membedakan antara apa yang nyata dan apa yang merupakan replika atau simulasi. Ia menganggap bahwa media massa, periklanan, dan budaya konsumen berperan besar dalam menciptakan simulacrum ini.

Dalam konteks yang lebih luas, konsep simulacrum juga dapat diterapkan pada berbagai bidang, termasuk seni, politik, dan budaya populer, untuk menjelaskan bagaimana representasi mungkin menggantikan atau mengaburkan realitas yang sebenarnya.

***

Sebagai penutup, dapat kita garisbawahi bahwa sebagai masyarakat, adalah tugas kita untuk menjaga kewaspadaan, skeptisisme, rasa ingin tahu, dan partisipasi aktif dalam percakapan. Alih-alih melihat teknologi sebagai musuh, kita seharusnya melihatnya sebagai alat---sebuah alat yang mampu membangun dan menghancurkan. Pilihan ada pada kita.

Jadi, ketika Anda melihat sebuah gambar, membaca berita, atau menerima sebuah cerita, pertanyakanlah: Apakah ini menggambarkan kebenaran atau hanya ilusi? Dengan pertanyaan ini, kita memulai perjalanan kita menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dunia di sekitar kita dan peran kita di dalamnya. Jangan ragu untuk terlibat, bertanya, dan mencari kebenaran. Mungkin hanya melalui langkah-langkah seperti itu kita dapat menavigasi labirin realitas dan fiksi di era digital ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun