Pernahkah kita berpikir, mengapa nilai,nilai sosial seperti gotong royong, sopan santun, dan saling menghargai perlahan mulai pudar di kalangan generasi muda? Sebagian orang menyalahkan perkembangan teknologi, sebagian lagi menuding kurangnya peran keluarga. Tapi sesungguhnya, ada dua sosok yang tak kalah penting dalam membentuk wajah sosial bangsa: guru dan murid.
Di ruang kelas, hubungan keduanya bukan sekadar proses belajar,mengajar. Di sanalah terbentuk nilai, karakter, dan cara berpikir generasi penerus. Guru dan murid bukan hanya pengajar dan pelajar,mereka adalah pembentuk struktur sosial di tingkat paling dasar.
Guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa, tapi makna itu kerap tereduksi jadi slogan belaka. Padahal, guru adalah penjaga nilai sosial di tengah masyarakat yang terus berubah. Mereka bukan hanya mengajarkan rumus matematika atau kaidah bahasa, melainkan cara berpikir dan bersikap sebagai manusia sosial.
Dalam banyak kasus, kepribadian guru menjadi cerminan langsung bagi murid. Guru yang sabar dan terbuka akan melahirkan murid yang berani berpendapat. Sebaliknya, guru yang terlalu kaku dan otoriter bisa menumbuhkan generasi yang takut salah dan enggan berdialog.
Laporan UNESCO tahun 2023 menegaskan bahwa kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari nilai ujian, tetapi juga dari sejauh mana sekolah mampu menanamkan nilai sosial. Di Indonesia, survei Kemendikbudristek (2022) menunjukkan masih banyak guru yang fokus pada capaian akademik, bukan pada pembentukan karakter sosial. Akibatnya, banyak anak pintar di atas kertas, tetapi gagap ketika harus berinteraksi dan bekerja sama di masyarakat.
Guru hari ini perlu jadi teladan sosial, bukan hanya sumber ilmu. Di era media sosial yang penuh polarisasi, guru bisa mengajarkan murid untuk berempati, memilah informasi, dan menghormati perbedaan pendapat. Nilai,nilai sederhana ini kelak menjadi pondasi utama bagi struktur sosial yang sehat.
Namun peran sosial tidak berhenti di guru. Murid pun punya tanggung jawab yang sama penting. Mereka adalah cermin dari nilai yang ditanamkan di sekolah, sekaligus pembawa perubahan di lingkungannya.
Banyak contoh menarik lahir dari tangan para pelajar. Di Bandung, misalnya, sekelompok siswa SMA menciptakan gerakan "Kelas Peduli Sampah" yang sukses mengurangi sampah sekolah hingga 40%. Aksi sederhana, tapi dampaknya nyata,mereka belajar bukan hanya teori lingkungan, tapi langsung menerapkan nilai sosial melalui tindakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Prasetyo (Jurnal Pendidikan Sosial, 2020) menyebutkan bahwa keterlibatan siswa dalam kegiatan sosial meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepedulian sosial. Sekolah yang memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat dan berinisiatif terbukti menghasilkan lulusan yang lebih peduli terhadap masyarakat.
Sayangnya, masih banyak sekolah yang belum memberi ruang bagi murid untuk terlibat aktif. Sistem yang terlalu menekankan disiplin kadang membunuh kreativitas dan empati. Padahal, justru dari kebebasan berpikir itulah muncul rasa tanggung jawab sosial yang sesungguhnya.
Kalau kita perhatikan, sekolah sejatinya adalah miniatur masyarakat. Di sana ada pemimpin (guru), warga (murid), aturan, bahkan konflik. Cara guru dan murid berinteraksi menjadi latihan sosial kecil yang akan mereka bawa ke dunia nyata.
Guru yang memberi kebebasan berbicara, tapi tetap menjaga batas hormat, sedang membangun dasar demokrasi sosial. Sementara murid yang belajar untuk mendengarkan dan bekerja sama sedang membentuk budaya gotong royong. Hubungan antara guru dan murid yang saling menghargai adalah cerminan masyarakat ideal,egaliter, terbuka, tapi tetap beretika.
Perubahan sosial besar sering dimulai dari hal,hal kecil. Dari satu guru yang menanamkan nilai empati, dari satu murid yang belajar berbagi, atau dari satu ruang kelas yang menumbuhkan rasa hormat.
Guru dan murid bukan hanya bagian dari sistem pendidikan,mereka adalah pondasi sosial bangsa. Keduanya membentuk arah nilai, sikap, dan perilaku masyarakat di masa depan.
Sudah saatnya pemerintah memberi perhatian lebih pada pendidikan karakter sosial, bukan sekadar akademik. Guru perlu dilatih agar mampu menjadi fasilitator nilai,nilai sosial, dan murid harus diberi ruang untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sekolah.
Karena sejatinya, membangun bangsa tidak dimulai dari gedung parlemen, melainkan dari ruang kelas tempat seorang guru menyalakan semangat, dan seorang murid belajar memahami makna menjadi manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI