WAJAH KEJAHATAN
Kejahatan terusir dari taman-taman surga sebab menyepelehkan kebenaran yang berlari riang, menari-nari, bercanda dengan bunga-bunga mungil, yang tumbuh di taman-taman suci, sebagai sahabatnya sejati.
Kejahatan mengusir dirinya sendiri dari nikmatnya bermain-main dengan rembulan, diiringi tarian bintang-bintang ketika malam memeluk mesra cakrawala, dan indahnya bercengkeramah dengan rerumputan hijau bermahkota embun pagi, ketika matahari menebarkan pesona kejelitaannya di pinggir-pinggir sungai firdaus yang meliuk.
Kejahatan yang terusir dari surga membawa selaksa penyesalan diri yang tak terhingga. Kini memasuki belahan jiwa manusia dan berumah di sana sebagai singgasana abadinya, untuk menebus kesalahan dan dosanya atas sikap sepelehnya pada kebenaran.
Ia menyalip dirinya dalam belahan gelap hati manusia sebagai wujud pengorbanan, untuk pengabdiannya pada kebenaran. Dan setiap tetes darahnya adalah kehancuran, lalu mewujud melalui tangan-tangan legam manusia sebagai anak-anak kejahatan sepanjang sejarah.
"Aku ingin menampilkan wajahku di depan hidung setiap detak waktu yang berlari di jalanan sejarah, dalam berbagai rupa hingga habis segala rupa yang telah disediakan untukku, agar jelas wajah kebenaran di mata kalian. Aku katakan ini agar kalian tidak menyepelehkan, apalagi mengingkari wajah kebenaran yang melintas dalam pandanganmu. Sebab menjadi yang terbuang dan tersia-siakan begitu perih dan getir melewati lorong-lorong waktu yang penuh duri derita, karena kesombongan sendiri. Berhati-hatilah terhadap wajahku yang menyerupai kebenaran. Kelicikannya begitu ganas menerkam setiap kelengahan. Dan tanpa ampun aku memperdayai kelemahan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa dua wajah yang berbeda itu tidak akan pernah sama dalam kehidupanmu".
Demikian kejahatan berpesan, sesaat sebelum ia memasung hidupnya dalam jiwa suram manusia.
Sumber: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.