TRAGEDI TANPA AIR MATA
Seperti daun rontok dari ranting, peradaban jaya Islam terpuruk dari panggung sejarah. Tiada ratapan semesta, tiada cucuran air mata dunia. Tragedi itu sayat perasaan muslim, kini masih luka dan makin dalam.
Seperti siang gantikan malam, peradaban Islam meninggalkan megah zamannya, meringkuk keterpencilan dalam narasi sejarah. Perihkah hatimu, dirundung-malangkah bumi tempat tumbuhnya yang tinggal jejak-tapak nostalgia kini?
Kehidupan adalah kenyataan tanpa air mata, tanpa isak pedih, diam dalam gua makna tak terjangkau. Hidup bergerak dari peristiwa ke peristiwa berbeda, melintasi, melampaui segala derita dan bahagia. Membiarkan musim bertukar waktu dan tempat apa adanya, tidak perduli pada kelahiran atau kematian silih berganti.
Seperti pertapa, kehidupan berjalan untuk kesempurnaan dirinya sendiri. Perubahan zaman dalam keruntuhan dan kebangkitan hanyalah warna yang dilukis untuknya. Kehidupan adalah palung makna tersembunyi dalam labirin hayat di relung-relung terdalamnya.
Seperti daun terpuruk, berganti daun baru yang tumbuh pada musim lain, begitulah peradaban Islam akan mengulangi jaya sejarah pada zaman berbeda.
Kehidupan..., mendekam hikmah dalam mulut  bisu.
Â
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.