Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Tehnologi, Pesona yang Memabukkan

24 Oktober 2021   14:22 Diperbarui: 16 Agustus 2022   15:02 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi manusia modern jarang menyadari bencana yang mengintip dibalik wajah manis tehnologi modern melalui janji-janji manja yang menyertainya. Dibalik segala kemewahan dan prestise tehnologi, sesunggunya menyisahkan suatu dilema pelik tak berkesudahkan. Yakni ketika rasa mabuk terhadap tehnologi tidak lagi dapat dihentikan oleh masyarkat manusia. Dalam posisi seperti ini, tehnologi mengambil bagian dari nature kita sebagai manusia, seolah keberadaannya telah juga bersifat alamiah, dan tanpa keheadirannya berarti penyiksaan berujung kematian. Mungkin sejenis penyakit tehnofila ataupun tehnophopia, sebagaimana yang dikhawatirkan Jhon Naisbit. Suatu penyakit yang secara halus merasuk dalam jiwa kering manusia modern karena telah didangkalkan semangat tehnologisasi. Terjebak dalam labirin kenikmatan gemerlap tehnologi tiada ujung, sembari sisi jiwa terdalam terus mendengungkan pertanyaan tentang hakikat kehidupan, hakikat masa depan hingga juga mulai kembali meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan hakikat kesejatian eksistensialnya sebagai manusia, baik sebagai pribadi mapun masyarakat.

 

Tehnologi secara fungsional tidak ada masalah karena menopang kemanfaatan dan kegunaan bagi kehidupan. Yang soal adalah implikasi dari pemanfaatan dan penggunaan tersebut yang tanpa disadari berpotensi besar merusak eksistensi dasar manusia. Karena tehnologi secara esensial hanyalah berkenaan dengan dunai materi manusia, sementara dunia rohani sebagai unsur dasar manusia tetaplah harus dikokohkan oleh nilai-nilai yang bukan merupakan reduksi dari dunia sains dan tehnologi modern. Agama dan kearifan tradisi adalah dua hal yang berkenaan jagad batin manusia, dieliminir secara radikal oleh peradaban modern yang ditopang revolusi tehnologi tiada henti dan sains modern yang merajai.

 

Ditengah makin terpuruknya jiwa manusia dalam selubung tehnologi modern, maka penting meninjau ulang cara kita berhubungan dengan tehnologi, cara kita mencintai dan menyayangi aneka ragam asesoris tehnologis yang mendampingi kita sejak bangun tidur hinga tidur kembali,cara kita memperlakukannya dan cara kita memandangnya. Kalau selama ini kita telah dimodernisasi secara sempurna, namun hasilnya justru menimbulkan kerisauan eksistensial baik intelektual maupun religi, maka saatnya melakukan reorientasi visi maupun misi masa depan peradaban modern ini, kalau awalnya berakar pada semangat modernisasi, saatnya peran itu diambil alih oleh gerakan tradisionalisasi ataupun spiritualisasi atas struktur peradaban yang bercorak dan berbau modern. Trandisionalisasi atau spritaulisasi bukan bermakna anti modern, tetapi ingin menyeimbangkan kepincangan modernisme yang titik beratnya hanya pada sisi meterialisme, dengan melakukan pemberatan pada sisi kearifan tradisi dan nilai agama atau religi, sehingga peradaban manusia kembali ketitik equilibriumnya.

 

[1] Puisi Shaff Muhtamar, berjudul Rene Descartes, buku Nyanyi Lirih 1001 Malam, penerbit pustaka Refleksi, 2008.

 

Makassar, 4 Oktober 2018.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun