Sementara itu, Siswanto, MSc, PhD, Koordinator Bidang Informasi Iklim Terapan BMKG, membawa perspektif yang lebih luas. Ia memaparkan data terkini yang menunjukkan betapa cepatnya bumi memanas.
"2024 telah tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah dengan suhu rata-rata nasional 27,52C. Konsentrasi CO di Indonesia pun meningkat drastis dari 373 ppm pada 2004 menjadi 418 ppm pada 2024," ungkap Siswanto.
Menurut laporan WMO yang dikutipnya, anomali suhu global tahun 2024 mencapai 1,55C di atas era pra-industri melewati ambang batas 1,5C yang selama ini dianggap sebagai "titik aman" dalam Perjanjian Paris. Tren ini memperlihatkan percepatan pemanasan global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Seluruh daratan Indonesia menunjukkan tren peningkatan suhu. Bahkan wilayah laut seperti Laut Banda dan Laut Arafura mengalami pemanasan hingga 0,3C per dekade," jelasnya.
Dampak Kesehatan yang Mengkhawatirkan
Pemanasan global tidak hanya memicu gangguan hormonal, tetapi juga membawa gelombang masalah kesehatan lain. Siswanto memetakan enam dampak utama perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat:
- Gelombang panas yang menyebabkan heat stroke dan kelelahan ekstrem.
- Polusi udara yang memperburuk penyakit pernapasan seperti asma.
- Penyebaran penyakit berbasis vektor (demam berdarah, malaria, Zika) ke wilayah yang sebelumnya bebas dari penyakit tersebut.
- Krisis air bersih yang meningkatkan risiko diare dan kolera.
- Gagal panen dan krisis pangan yang memicu malnutrisi dan stunting.
- Dampak psikososial seperti stres dan konflik akibat migrasi iklim.
"Perubahan iklim memperluas wilayah sebaran Aedes aegypti nyamuk penyebab DBD ke daerah yang lebih tinggi dan lebih dingin. Ini ancaman nyata bagi masyarakat Indonesia," tegas Siswanto.
Perempuan dan Gen Z dalam Pusaran Krisis
Kedua pakar ini sepakat bahwa perempuan akan menjadi kelompok paling terdampak jika krisis iklim tidak segera diatasi. Dr. Heru menekankan perlunya pendekatan kesehatan berbasis gender dalam kebijakan iklim.
"Kita harus memastikan bahwa program mitigasi dan adaptasi mempertimbangkan kerentanan biologis dan sosial perempuan," ujarnya.
Sementara itu, Siswanto menegaskan pentingnya aksi kolektif. "Mitigasi perubahan iklim harus dimulai dari level individu hingga negara. Transportasi ramah lingkungan, konservasi energi, dan pengelolaan sampah adalah langkah kecil tapi penting. Jika kita tidak bertindak sekarang, dampaknya akan jauh lebih parah," katanya sambil memperkenalkan portal informasi iklim BMKG (https://iklim.bmkg.go.id) sebagai rujukan publik.