Didirikan pertama kali pada 1999 atas insiatif Group of Seven (G7), G20 ditujukan untuk bahu membahu antar negara maju dan berkembang melawan masalah krisis yang saat itu marak melanda Amerika Latin, Asia, hingga Rusia, G20 sejak didirikan terus berpegang pada prinsip kerjasama yang fokus untuk menciptakan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif.
Sehingga, tidak heran, G20 pada akhirnya berada pada posisi prestise salah satu pemegang kendali strategis dalam dinamika politik global. (Bank Indonesia, 2020).
Di balik keseluruhan carut-marut tatanan politik dan kontraksi ekonomi global selama pandemi, Indonesia menerima posisi presidensi G20.Â
Pada 31 Oktober 2021 di Roma Italia, Presiden Joko Widodo hadir bersama perwakilan kabinetnya untuk secara resmi menerima palu persidangan G20. Artinya, Istana Merdeka mendeklarasikan kesiapannya menjadi negara berkembang pertama yang memegang presidensi G20.Â
Posisi strategis ini, memberikan ruang bagi Indonesia untuk menyelenggarakan keseluruhan rangkaian pertemuan G20 hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2022.Â
Kepercayaan tersebut, menghantarkan Istana memiliki kesempatan untuk meningkatkan perannya dalam ekonomi global, mencipatakan arsitektur ekonomi dan strategi kesehatan setelah pandemi Covid-19
Indonesia berhak mengorkestrasi keseluruhan agenda dan prioritas isu pembahasan pada G20. Sehingga secara nyata, posisi ini mampu memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. (Bisnis.com, 2021).
Memandang strategisnya peran presidensi G20 yang dipegang Indonesia, tentu sangat seksi untuk dianalisis dalam kacamata realisme. Mengukur seberapa realistis Indonesia, hingga menerima dan yakin untuk mampu menyebarkan semangat "Recover Together, Recover Stronger".Â
Dalam kacamata teori realis, selalu memandang pesimis niat perdamaian dari berbagai kerjasama antar negara yang berlindung dibalik judul organisasi internasional (OI).Â
Kaum realis selalu beranggapan kerjasama multilateral sebagai hal tabuh dan hanya ruang fasilitasi untuk memuluskan jalan negara ber-power dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya.Â
Pada akhrinya, realisme menganalogikan kerangka kerjasama sejenis G20 hanyalah tabung perebutan kekuasaan dan kekayaan antar negara-negara yang ada di dalamnya.