Serangan ganda Israel ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza, memicu gelombang kecaman dari Eropa dan Amerika Serikat. Insiden ini bukan hanya menewaskan pasien dan tenaga medis, tetapi juga merenggut nyawa lima jurnalis yang tengah melaporkan dari lokasi. Serangan yang terjadi dalam dua tahap itu menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan di Gaza, dan semakin menegaskan betapa rapuhnya perlindungan hukum internasional di tengah perang.
Menurut laporan artikel berjudul: Israeli double strike on Gaza hospital - what we know, oleh Megan Fisher dan Emir Nader, BBC News, 26 Agustus 2025, serangan pertama menghantam rumah sakit sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. Beberapa menit kemudian, serangan kedua datang di lokasi yang sama saat para penyelamat dan jurnalis sedang menolong korban. BBC menyebutkan bahwa departemen gawat darurat, bangsal rawat inap, hingga unit bedah ikut rusak. WHO mengonfirmasi bahwa bahkan tangga darurat rumah sakit pun terkena dampak.
BBC News juga menuliskan nama-nama para jurnalis yang tewas. Mereka adalah Husam al-Masri dari Reuters, Mariam Dagga dari Associated Press, Mohammad Salama dari Al Jazeera dan Middle East Eye, Ahmed Abu Aziz dari Middle East Eye, serta Moaz Abu Taha yang bekerja lepas untuk beberapa media, termasuk Haaretz. Kesaksian dari lapangan menggambarkan suasana mencekam: darah berceceran di lantai, jeritan korban, dan kepanikan di antara para pasien serta tenaga medis.
Tragedi ini memperkuat tudingan bahwa Israel menggunakan taktik "double tap", yakni menyerang kembali lokasi yang sama setelah serangan awal, sehingga menimbulkan korban lebih besar dari kalangan penyelamat, tenaga medis, maupun jurnalis. Dalam hukum humaniter internasional, taktik semacam ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran serius karena justru menargetkan mereka yang seharusnya dilindungi.
Eropa bereaksi keras. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut serangan itu "tak tertahankan" dan menegaskan kembali tuntutan agar Israel mematuhi hukum internasional serta menghormati keselamatan warga sipil. Jerman pun menyatakan keterkejutannya, sementara Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menegaskan bahwa dunia tidak boleh lagi menutup mata terhadap tragedi berulang di Gaza.
Dari Amerika Serikat, Presiden Donald Trump yang awalnya mengaku belum mengetahui detail insiden, akhirnya menyatakan dirinya "tidak senang" dengan apa yang terjadi. Meski pernyataannya singkat, ekspresi ketidakpuasan dari sekutu utama Israel ini memberi sinyal bahwa kesabaran Washington terhadap serangan tanpa pandang bulu mulai menipis.
PBB melalui Sekretaris Jenderal Antnio Guterres mengutuk keras pembunuhan itu dan menyerukan penyelidikan independen. Guterres menekankan bahwa insiden ini menyoroti risiko ekstrem yang dihadapi tenaga medis dan jurnalis di Gaza. Ia menegaskan kembali seruan untuk gencatan senjata segera dan akses kemanusiaan tanpa hambatan.
Bagi komunitas internasional, pembunuhan jurnalis membawa implikasi besar. Dunia mengandalkan para reporter lokal untuk mendapatkan informasi dari Gaza karena Israel melarang jurnalis asing masuk. Dengan semakin banyaknya jurnalis yang tewas --- lebih dari 190 menurut data Committee to Protect Journalists (CPJ) dalam 22 bulan terakhir --- arus informasi dari Gaza bisa semakin terputus. Ini berarti tragedi kemanusiaan berpotensi terjadi tanpa saksi mata.
Organisasi kebebasan pers seperti Reporters Without Borders menyebut tindakan Israel sebagai "pembunuhan siaran langsung terhadap jurnalis di depan mata dunia." Asosiasi Pers Asing menilai peristiwa di Nasser Hospital seharusnya menjadi titik balik bagi dunia untuk bertindak lebih tegas menghentikan praktik penargetan jurnalis.
Israel sendiri menyebut insiden itu sebagai "kesalahan tragis" dan berjanji melakukan penyelidikan internal. Namun, publik internasional semakin ragu terhadap transparansi maupun akuntabilitas Israel, mengingat sebelumnya banyak insiden serupa tidak pernah berakhir dengan pertanggungjawaban yang jelas.