Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengembangkan Komik Lokal Sebagai Potensi Ekonomi Kreatif

13 Oktober 2025   10:50 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:50 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa literatur akademis tentang komik (sumber: dokumentasi pribadi)

Komik selama ini selalu diremehkan sebagai produk seni dan kreatif kelas dua. Kalah dibandingkan film atau musik dari segi ekonomi. Juga, dipandang sebelah mata sebagai karya seni kreatif ketimbang lukisan.

Padahal, komik merupakan salah satu karya seni dengan sejarah panjang. Relief di berbagai candi boleh dibilang sejenis komik juga. Demikian pula lukisan-lukisan gua di zaman purba. Asalkan ada seni visual yang berturutan secara naratif, itu adalah komik jika meminjam definisi dari buku teks tentang sejarah komik, Understanding Comics karya Scott McCloud (KPG, 2001). Artinya, komik juga merupakan karya seni yang bermutu tinggi.

Selain itu, komik adalah salah satu produk industri kreatif yang punya potensi ekonomi dahsyat. Betapa tidak, di AS misalnya industri komik-yang didominasi komik superhero-mampu mencatatkan total nilai penjualan 1,905 miliar dolar AS untuk edisi cetak dan 705 juta dolar AS untuk edisi digital pada 2021. Artinya, total penjualan komik di AS mencapai 2,610 miliar dolar AS atau sekitar 39 triliun rupiah. 

Jelas, ini bukan pencapaian remeh. Belum lagi jika kita menghitung produk turunan dari komik tersebut, seperti film, novel adaptasi, dan lain sebagainya.

Di Jepang, industri komik yang disebut manga pun tak kalah berjaya. Bahkan, komik One Piece karya Eichiro Oda atau Oda-Sensei resmi ditahbiskan sebagai komik terlaris sepanjang masa dengan menjual 490 juta eksemplar hingga April 2022. Industri adaptasi film dari manga yang disebut anime pun tak kalah bergairah dalam mendatangkan devisa bagi negeri Sakura tersebut.

Karena itu, Indonesia harusnya bisa mencontoh keberhasilan dua negara adidaya tersebut. Pasalnya, Indonesia pernah menorehkan prestasi gemilang di bidang komik. Marcel Bonneff dalam disertasinya tentang komik Indonesia (Komik Indonesia, KPG, 1998, hal.85) mencatat bahwa komik Indonesia di era 1970-an begitu berjaya. 

Pada 1971 saja, ada 876 judul diterbitkan dengan total angka penjualan antara dua juta dan tiga juta eksemplar. Di era itu, komik silat mendominasi dengan 48,75 persen total komik, disusul oleh genre komik roman remaja di angka 36,75 persen.

Mereka yang tumbuh di era 1970-1980an pasti mengingat sejumlah serial komik lokal populer, seperti Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, dan Mandala Siluman Sungai Ular dari genre silat. RA Kosasih, Teguh Santosa, dan Jan Mintaraga sukses mempopulerkan wayang lewat adaptasi komik Ramayana dan Mahabarata mereka. Di genre superhero, ada Godam, Sri Asih, Gundala, Maza, dan lain sebagainya.

Namun, kejayaan komik lokal segera menurun seiring kedatangan komik-komik terjemahan, seperti komik terjemahan superhero AS (terutama oleh penerbit Cypress), komik terjemahan Eropa (oleh penerbit Sinar Harapan dengan komik Asterix, Indira yang sukses dengan komik Tintin, Aya Media Pustaka lewat terjemahan komik Smurf, dan lain sebagainya), dan komik Jepang (oleh Elex Media). 

Format komik berwarna yang ditawarkan komik AS dan Eropa serta variasi genre yang ditawarkan komik manga Jepang perlahan tapi pasti menggerus pamor komik lokal hingga mati suri untuk waktu yang lama. 

Untunglah, beberapa tahun belakangan muncul penerbit Bumi Langit yang merevitalisasi karakter komik-komik lama seperti Godam, Gundala, Si Buta, Sri Asih, dan lain sebagainya. Hanya saja, industri komik lokal tetap belum menyamai popularitasnya di era 1970-an.

Optimalisasi

Namun, kita tidak boleh berpangku tangan menghadapi potensi industri komik lokal kita yang belum mentereng. Justru, fakta bahwa total penjualan komik di AS (cetak maupun digital) meningkat secara konsisten dalam satu dasawarsa terakhir dari 1,104 miliar dolar AS pada 2011 ke 2,610 miliar dolar AS pada 2021 harus menjadi pemicu bagi Indonesia untuk mengoptimalkan potensi ekonomi dahsyat komik lokal. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang bisa kita tempuh. 

Pertama, mengikuti rintisan yang dilakukan penerbit Bumi Langit, para calon investor dan pebisnis komik bisa mengangkat kembali karakter-karakter yang sempat populer dan melekat di benak pembaca lokal kita. 

Karakter seperti Jaka Sembung, Jaka Tuak, dan banyak lagi masih terbuka untuk diakuisisi dan dikembangkan. Industri komik kemudian bisa menjalin sinergi dengan industri lain, seperti industri sinema dan merchandise untuk mengangkat kembali popularitas para karakter tersebut.

Kedua, para penerbit komik harus yakin bahwa kualitas komikus Indonesia ternyata sudah bisa disandingkan dengan komikus luar negeri. Nama-nama seperti Ardian Syaf, Yasmine Putri, dan Sunny Gho, misalnya, terbukti memiliki kualitas gambar yang begitu bagus sampai dipakai oleh penerbit komik AS ternama Marvel dan DC. 

Ketiga, ketika kita mengetahui bahwa komikus Indonesia memiliki kualitas cemerlang, kita harus membenahi segi kepenulisan komik. Asal tahu saja, satu edisi komik profesional biasanya disajikan oleh satu tim kreatif yang meliputi penulis (writer), komikus (artist/penciller), peninta (inker), pewarna (colorist), penulis balon kata (letterer), dan editor. Semuanya membutuhkan skill khusus yang terspesialisasi (Dave Gibbobs, How Comic Works, Wellfleet Press, 2017). Dari komposisi tim ini, komik lokal biasanya lemah dari segi penulisan. 

Sebagai solusi cepat untuk segi ini, kita sebetulnya bisa mengajak para novelis atau sastrawan lokal ternama untuk menjadi penulis komik. Hal ini juga sudah menjadi tren di industri komik Amerika. Misalnya saja, Neil Gaiman yang lebih dulu populer sebagai sastarawan di Inggris kini justru lebih terkenal sebagai penulis komik dengan serial Sandman di Vertigo. 

Novelis perempuan kondang Jodi Picoult juga sempat menulis komik Wonder Woman untuk DC. Bahkan, intelektual kulit hitam Ta-Nahisi Coates didapuk menulis komik Black Panther untuk Marvel dan menuai sukses dari segi mutu maupun penjualan.  

Keempat, pemerintah juga mesti memainkan peran dengan memberikan berbagai insentif pajak, pengembangan infrastruktur digital, atau bahkan alokasi dana bagi perkembangan komik lokal. 

Pasalnya, pengembangan komik lokal sangatlah sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mendorong optimalisasi pertumbuhan industri kreatif Indonesia sebagai salah satu sektor yang bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional (siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 14 Januari 2022). 

Pemerintah menyebutkan industri kreatif meliputi usaha kuliner, fashion, kriya, film, animasi, video, seni pertunjukan, dan desain komunikasi visual. Di sini, jelas komik bisa digolongkan sebagai bagian dari desain komunikasi visual.

Berbekal keempat langkah di atas, semoga industri komik lokal kita bisa berjaya dan memberikan kontribusi positif signifikan bagi perekonomian Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun