Pertanyaan besarnya, jika HTN Darurat itu konstitusional dan bisa diaktifkan manakala kondisi memungkinkan, bagaimana mencegahnya supaya tidak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan perorangan?
Di sinilah, disertasi Qurrota Ayuni di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (dibukukan menjadi Konsepsi Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif UUD 1945, UI Publishing, 2024) menjadi relevan. Disertasi ini pertama-tama mengakui bahwa HTN Darurat diakui dalam UUD NRI 1945, yaitu dalam pasal 12 yang berbunyi, "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang."
Pasal itu kemudian diturunkan menjadi UU 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya). UU ini memberikan legitimasi kepada Presiden untuk memberlakukan keadaan bahaya dengan menetapkan status hukum darurat.
UU ini mengklasifikasi tiga kondisi kedaruratan, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang yang dapat diterapkan oleh Presiden dalam tiga kondisi : a) adanya ancaman keamanan atau ketertiban hukum pada sebagian atau seluruh wilayah di Indonesia disebabkan pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan biasa, b) timbul perang atau bahaya perang atau okupasi (pendudukan) wilayah Indonesia, c)hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan khusus lainnya yang membahayakan kehidupan negara.
Masih menurut UU yang sama, kondisi darurat sipil membolehkan pemerintah melakukan penyitaan terhadap barang (pasal 15), penyadapan (pasal 17), pelarangan kegiatan dan pertemuan (pasal 18), dan membatasi orang keluar rumah (pasal 19).
Sementara dalam kondisi darurat militer, penguasa darurat dapat menguasai alat komunikasi (pasal 25), membatasi pertunjukan dan percetakan (pasal 26), mengadakan militerisasi pada jabatan tertentu (pasal 31), dan melakukan penangkapan selama 21 hari (pasal 32).
Wajar jika wewenang penguasa dalam kondisi darurat seperti di atas menimbulkan kekhawatiran akan munculnya pemerintahan diktator. Presedennya sudah ada, yaitu naiknya Hitler sebagai Kanselir dan Nazi sebagai partai penguasa dengan memberikan keadaan darurat, yang kemudian diselewengkan menjadi pemerintahan diktator permanen.
Pembatasan konstitusional
Maka itu, HTN Darurat sebagai semacam panic button bangsa dalam kondisi darurat perlu pembatasan untuk mencegah tragedi Hitler di Jerman berulang. Untuk itu, kita bisa merujuk pada The Paris Minimum Standards of Human Rights Norms in a State of Emergency. Standar ini terdiri dari 3 bagian dan 16 pasal yang membahas mengenai tiga hal: a) deklarasi, durasi, dan kontrol, b) prinsip umum kekuatan darurat dan perlindungan individu, c) hak dan kebebasan yang tidak dapat diganggu gugat (non derogable).
Secara singkat, tiga asas atau prinsip di atas meniscayakan sejumlah pembatasan berikut dalam mengaktifkan HTN Darurat. Pertama, harus ada prosedur untuk menyatakan kondisi darurat. Badan legislatif juga tidak boleh dibubarkan.
Selain itu, harus ada jangka waktu yang ditetapkan di awal kapan kondisi darurat akan berakhir.