Saat ini, sering kita dengar orang menyebut negeri ini dengan "Konoha" (negerinya para tokoh dalam manga Naruto) atau "Wakanda" (negeri karakter superhero Marvel, Black Panther alias Raja T'Challa) ketika ingin melancarkan kritik. Motifnya adalah sebagai dalih ketika ada orang yang tersinggung, kita tinggal bilang "yang saya kritik kan negeri Konoha atau Wakanda." Sekaligus, menghindari delik.
Ada humor di balik penamaan samaran itu. Namun ada juga tersirat kekhawatiran untuk melancarkan suara oposan atau kritik terhadap ketidakberesan yang dipersepsikan terjadi di negeri ini. Artinya, humor menjadi kanalisasi dan sublimasi kritik masyarakat warga terhadap kinerja pemerintah dan situasi politik negara.
Hal ini mengingatkan kita pada situasi lebih ekstrem yang terjadi pada era Orde Baru, terutama sesudah kasus Malari 1974 yang mendorong Presiden Soeharto lebih berfokus pada stabilitas politik dengan cara mengkonsolidasikan maupun mengkonsentrasikan kekuasaan secara hegemonik. Saat itu, perkembangan masyarakat sipil dikekang dan kritik politik diberangus atas nama kestabilan politik dalam rangka memajukan pembangunan ekonomi.
Karena kepengapan iklim politik yang demikian, humor akhirnya menjadi salah satu wahana untuk menyalurkan aspirasi dan kritik secara subtil (halus). Di momen itulah, pada tahun 1986 terbit satu buku kumpulan humor sensasional berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (Grafiti Pers, 1986). Sensasional karena buku ini mungkin literatur bergenre humor pertama yang masuk daftar bestseller di Indonesia. Saya sendiri memiliki cetakan ulang kedua, yang terbit pada April 1986 alias hanya jeda satu bulan dengan bulan pertama terbit pada Maret 1986.
Buku ini merupakan terjemahan dari kumpulan humor bangsa Rusia, termasuk humor politik, yang dikoleksi oleh penulis Uni Soviet bernama Z. Dolgopolova.
Grafiti sendiri adalah penerbit yang saham mayoritasnya dikuasai oleh Majalah Tempo, yang terkenal sebagai majalah berita politik dengan sikap kritis terhadap pemerintah. Karena itu, bisa jadi penerbitan kumpulan humor ini sebenarnya dimaksudkan sebagai kritik terselubung kepada pemerintah Orde Baru.
Bahkan bayangkan saja, hanya untuk buku humor, pengantarnya bukan main-main, yaitu dari tokoh pejuang demokrasi sekaligus Ketua Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal sangat kritis kepada pemerintah, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Apalagi ini jika bukan ditafsirkan sebagai cara Grup Tempo untuk menggugat secara halus jalannya pemerintahan Orde Baru kala itu.
Dalam pengantarnya yang mendalam dan memikat, Gus Dur menguraikan dua fungsi humor bagi masyarakat. Pertama, humor merupakan sublimasi kearifan sebuah masyarakat dan menciptakan daya tahan tinggi sebuah masyarakat di hadapan kepahitan dan kesengsaraan.
Kedua, humor merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat jika dengan humor itu warga masyarakat dapat menjaga jarak sehat dari keadaan yang dinilai tidak benar.
Jika saya saripatikan, Gus Dur seakan ingin mengatakan bahwa humor merupakan cara paling halus dan sublim bagi sebuah masyarakat untuk mengkritik situasi politik, terutama tata kelola pemerintahan. Dalam konteks ini, Rusia yang hadir dalam buku humor terbitan Grafiti ini sesungguhnya serupa dengan Indonesia pada era Orde Baru.