Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Driyarkara dan Manusia Demokrasi Pancasila

1 September 2025   16:02 Diperbarui: 1 September 2025   16:09 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Karya Lengkap Driyarkara yang memuat semua karya tulis filsuf Driyarkara (sumber: dokumentasi pribadi)

Sudah satu pekan berlalu sejak demo di DPR kali pertama pada Senin (25/8/2025) di mana masyarakat memprotes insensitivitas para wakil rakyatnya yang menikmati tunjangan fantastis di tengah kesulitan ekonomi masyarakat. Namun, luka yang ditimbulkan rangkaian peristiwa yang ada masih terasa pedih: rusaknya fasilitas umum, korban nyawa dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil lain, sampai kejadian penjarahan dan hilangnya rasa keamanan masyarakat. Belum lagi terkoyaknya rasa persaudaraan antara sesama anak bangsa.

Bahkan sampai saat ini pun masyarakat tetap mengalami kekhawatiran sehingga banyak kegiatan sekolah maupun kerja yang diadakan secara daring. Cita-cita demokrasi yang menjanjikan bahwa kebebasan akan membawa kesejahteraan menjadi jauh panggang dari api.

Hulu dari tragedi berbangsa dan bernegara ini adalah karena gagal pahamnya para elit penguasa menyelami esensi manusia demokrasi Pancasila sebagaimana dibayangkan oleh para pendiri bangsa. Penajaman konsep manusia demokrasi Pancasila sendiri dilakukan salah satunya oleh seorang ahli filsafat, yaitu Romo Nicolaus Driyarkara.

Manusia demokrasi Pancasila

Dalam bukunya yang berjudul Menalar Dasar Negara Indonesia: Telaah Filsafat Pancasila (dimuat lengkap dalam Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia Pustaka Utama, 2006), Romo Driyarkara menguraikan sejumlah ciri gambaran manusia yang dituntut oleh sila demokrasi. Kita sebut saja sebagai ciri manusia demokrasi Pancasila.

Pertama, manusia memandang dirinya sendiri bersama-sama dengan sesamanya. Segala sesuatu di dalam demokrasi juga harus diselesaikan berdasarkan hukum, bukan kekerasan.

Kedua, manusia demokrasi Pancasila  di dalam jiwanya tertanam rasa dan kesanggupan untuk membuat kesatuan kerja dan untuk kerja sama. Ia selalu melihat dirinya bersama-sama sebagai keseluruhan bangsa dalam kesatuan kerja yang mempunyai sifat kekeluargaan. 

Manusia demokrasi Pancasila jadinya bekerja dengan mengakui dan menjunjung tinggi martabat manusia tapi tidak boleh juga segan dalam berselisih pendapat. Dia harus berembuk secara halus tapi cara halus itu tidak boleh menyembunyikan perbedaan pendapat. 

Sebagai orang dewasa, manusia demokrasi Pancasila harus memandang kritik sebagai hal biasa yang justru harus diterima dan dijawab dengan senang hati. Tidak boleh manusia demokrasi Pancasila mudah marah, mudah merasa tersinggung, dan segan kalau diserang. Menurut Driyarkara yang sekaligus menutup uraiannya "manusia yang memiliki kekurangan semacam itu tidaklah masuk untuk demokrasi. Sekianlah dulu!"

Mengkhianati esensi

Cukuplah renungan filsafat manusia sekaligus filsafat politik dari Driyarkara menjadi acuan penuh kebijaksanaan bagi manusia Indonesia dalam menjalani kehidupan politik secara bajik. Sayangnya, beberapa waktu ke belakang banyak para elit kita yang justru mengkhianati esensi manusia demokrasi Pancasila. Bisa jadi karena mereka tidak pernah membaca karya Driyarkara atau karya-karya filsafat serius lain tentang manusia Pancasila.

Pertama, ulah anggota dewan Ahmad Sahroni yang mengatakan penyeru pembubaran DPR-di mana ungkapan 'pembubaran' itu sebenarnya lahir karena kegeraman masyarakat-sebagai 'tolol sedunia' dan mencerca sebagian pelaku demonstrasi di bawah umur sebagai 'brengsek' adalah contoh nyata perilaku manusia yang tidak bisa dikritik karena tipis kuping, perilaku yang menurut Driyarkara "tidak masuk dalam demokrasi."

Perilaku anti kritik juga ditunjukkan oleh seorang anggota DPR lain yang membuat konten joget-joget dengan sound horeg sesudah masyarakat mengecam perilaku para legislator yang berjoget-joget saat akhir rapat di gedung parlemen. Ini perilaku 'ngeyel' yang lagi-lagi mengesankan dia tidak menerima kritik dari masyarakat yang merupakan pemegang kedaulatan sesungguhnya.

Kedua, para elit penguasa, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, menyalahi esensi bahwa manusia demokrasi Pancasila itu harus merasa sebagai satu kesatuan yang bekerja sama dalam semangat kekeluargaan. Solidaritas dan empati merupakan kata kunci di sini. Dalam buku lain, Romo Driyarkara menyebut ini sebagai homo homini socius, yaitu manusia merupakan teman bagi sesamanya.

Namun, praktik eksekutif dan legislatif justru menyalahi prinsip solidaritas dan empati tersebut. Bagaimana tidak, ketika negara berapi-api menyerukan efisiensi anggaran, masyarakat secara ironis disuguhi dengan bertubi-tubi sajian pahit kebijakan yang menyengsarakan kehidupan: kenaikan pajak seperti PBB, kenaikan bahan pokok, pelemahan daya beli, dan lain sebagainya. 

Padahal di sisi lain, negara santai saja membuat pemerintahan gemuk dengan banyak anggota kabinet, menaikkan tunjangan bagi anggota dewan, membolehkan anggota kabinet merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN (yang untungnya dibatalkan Mahkamah Konsitusi baru-baru ini), dan lain sebagainya. 

Belum lagi perilaku tak patut para pejabat publik yang sering melakukan kunjungan ke luar negeri, pamer gaya hidup mewah, dan memakai pengawalan saat bepergian ke mana-mana. Jelas ini menyalahi esensi manusia demokrasi Pancasila dan secara logis akan memantik amarah masyarakat.

Dengan kata lain, tragedi yang dialami bangsa ini dalam sepekan terakhir adalah buah dari perilaku para penyelenggara negara yang mengabaikan esensi filosofis manusia dalam demokrasi menurut Pancasila, dasar negara yang secara rutin tapi ternyata selama ini banal (tidak meresap dalam jiwa dan perilaku) selalu  mereka gaungkan sehari-hari. 

Karena itu, kejadian kelam yang baru kita alami harusnya menjadi momentum bagi kita semua, terutama para penyelenggara negara, untuk kembali kepada esensi manusia demokrasi Pancasila: bekerja sama dalam semangat persaudaraan, solidaritas, dan kekeluargaan. Semoga bisa!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun