Cukuplah renungan filsafat manusia sekaligus filsafat politik dari Driyarkara menjadi acuan penuh kebijaksanaan bagi manusia Indonesia dalam menjalani kehidupan politik secara bajik. Sayangnya, beberapa waktu ke belakang banyak para elit kita yang justru mengkhianati esensi manusia demokrasi Pancasila. Bisa jadi karena mereka tidak pernah membaca karya Driyarkara atau karya-karya filsafat serius lain tentang manusia Pancasila.
Pertama, ulah anggota dewan Ahmad Sahroni yang mengatakan penyeru pembubaran DPR-di mana ungkapan 'pembubaran' itu sebenarnya lahir karena kegeraman masyarakat-sebagai 'tolol sedunia' dan mencerca sebagian pelaku demonstrasi di bawah umur sebagai 'brengsek' adalah contoh nyata perilaku manusia yang tidak bisa dikritik karena tipis kuping, perilaku yang menurut Driyarkara "tidak masuk dalam demokrasi."
Perilaku anti kritik juga ditunjukkan oleh seorang anggota DPR lain yang membuat konten joget-joget dengan sound horeg sesudah masyarakat mengecam perilaku para legislator yang berjoget-joget saat akhir rapat di gedung parlemen. Ini perilaku 'ngeyel' yang lagi-lagi mengesankan dia tidak menerima kritik dari masyarakat yang merupakan pemegang kedaulatan sesungguhnya.
Kedua, para elit penguasa, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, menyalahi esensi bahwa manusia demokrasi Pancasila itu harus merasa sebagai satu kesatuan yang bekerja sama dalam semangat kekeluargaan. Solidaritas dan empati merupakan kata kunci di sini. Dalam buku lain, Romo Driyarkara menyebut ini sebagai homo homini socius, yaitu manusia merupakan teman bagi sesamanya.
Namun, praktik eksekutif dan legislatif justru menyalahi prinsip solidaritas dan empati tersebut. Bagaimana tidak, ketika negara berapi-api menyerukan efisiensi anggaran, masyarakat secara ironis disuguhi dengan bertubi-tubi sajian pahit kebijakan yang menyengsarakan kehidupan: kenaikan pajak seperti PBB, kenaikan bahan pokok, pelemahan daya beli, dan lain sebagainya.Â
Padahal di sisi lain, negara santai saja membuat pemerintahan gemuk dengan banyak anggota kabinet, menaikkan tunjangan bagi anggota dewan, membolehkan anggota kabinet merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN (yang untungnya dibatalkan Mahkamah Konsitusi baru-baru ini), dan lain sebagainya.Â
Belum lagi perilaku tak patut para pejabat publik yang sering melakukan kunjungan ke luar negeri, pamer gaya hidup mewah, dan memakai pengawalan saat bepergian ke mana-mana. Jelas ini menyalahi esensi manusia demokrasi Pancasila dan secara logis akan memantik amarah masyarakat.
Dengan kata lain, tragedi yang dialami bangsa ini dalam sepekan terakhir adalah buah dari perilaku para penyelenggara negara yang mengabaikan esensi filosofis manusia dalam demokrasi menurut Pancasila, dasar negara yang secara rutin tapi ternyata selama ini banal (tidak meresap dalam jiwa dan perilaku) selalu  mereka gaungkan sehari-hari.Â
Karena itu, kejadian kelam yang baru kita alami harusnya menjadi momentum bagi kita semua, terutama para penyelenggara negara, untuk kembali kepada esensi manusia demokrasi Pancasila: bekerja sama dalam semangat persaudaraan, solidaritas, dan kekeluargaan. Semoga bisa!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI