Sudah satu pekan berlalu sejak demo di DPR kali pertama pada Senin (25/8/2025) di mana masyarakat memprotes insensitivitas para wakil rakyatnya yang menikmati tunjangan fantastis di tengah kesulitan ekonomi masyarakat. Namun, luka yang ditimbulkan rangkaian peristiwa yang ada masih terasa pedih: rusaknya fasilitas umum, korban nyawa dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil lain, sampai kejadian penjarahan dan hilangnya rasa keamanan masyarakat. Belum lagi terkoyaknya rasa persaudaraan antara sesama anak bangsa.
Bahkan sampai saat ini pun masyarakat tetap mengalami kekhawatiran sehingga banyak kegiatan sekolah maupun kerja yang diadakan secara daring. Cita-cita demokrasi yang menjanjikan bahwa kebebasan akan membawa kesejahteraan menjadi jauh panggang dari api.
Hulu dari tragedi berbangsa dan bernegara ini adalah karena gagal pahamnya para elit penguasa menyelami esensi manusia demokrasi Pancasila sebagaimana dibayangkan oleh para pendiri bangsa. Penajaman konsep manusia demokrasi Pancasila sendiri dilakukan salah satunya oleh seorang ahli filsafat, yaitu Romo Nicolaus Driyarkara.
Dalam bukunya yang berjudul Menalar Dasar Negara Indonesia: Telaah Filsafat Pancasila (dimuat lengkap dalam Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia Pustaka Utama, 2006), Romo Driyarkara menguraikan sejumlah ciri gambaran manusia yang dituntut oleh sila demokrasi. Kita sebut saja sebagai ciri manusia demokrasi Pancasila.
Pertama, manusia memandang dirinya sendiri bersama-sama dengan sesamanya. Segala sesuatu di dalam demokrasi juga harus diselesaikan berdasarkan hukum, bukan kekerasan.
Kedua, manusia demokrasi Pancasila  di dalam jiwanya tertanam rasa dan kesanggupan untuk membuat kesatuan kerja dan untuk kerja sama. Ia selalu melihat dirinya bersama-sama sebagai keseluruhan bangsa dalam kesatuan kerja yang mempunyai sifat kekeluargaan.Â
Manusia demokrasi Pancasila jadinya bekerja dengan mengakui dan menjunjung tinggi martabat manusia tapi tidak boleh juga segan dalam berselisih pendapat. Dia harus berembuk secara halus tapi cara halus itu tidak boleh menyembunyikan perbedaan pendapat.Â
Sebagai orang dewasa, manusia demokrasi Pancasila harus memandang kritik sebagai hal biasa yang justru harus diterima dan dijawab dengan senang hati. Tidak boleh manusia demokrasi Pancasila mudah marah, mudah merasa tersinggung, dan segan kalau diserang. Menurut Driyarkara yang sekaligus menutup uraiannya "manusia yang memiliki kekurangan semacam itu tidaklah masuk untuk demokrasi. Sekianlah dulu!"
Mengkhianati esensi