Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Filsafat Pendidikan Konfusius

24 Juli 2025   11:28 Diperbarui: 24 Juli 2025   11:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku The Wisdom of Confusius karya Andri Wang (sumber: dokpri)

Dalam filsafat Tiongkok, tidak ada nama lain yang menandingi Konfusius. Bahkan ajaran Konfusius sudah menjadi kepercayaan tersendiri bernama Konfusianisme. Paling nama lain yang agak bisa menandingi Konfusius adalah Lao Zi. Berusia 20 tahun lebih tua dari Konfusius atau Kong Fu Zi, ajaran Lao Zi berkembang menjadi kepercayaan Tao, yang berbeda dengan Taoisme sebagai ajaran filsafat.

Sebagaimana dikemukakan oleh Harry Hamersma dalam Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Kanisius, 1981), Konfusius sangat menekankan pada perlunya pendidikan kepada generasi muda untuk kembali ke tradisi dan adat istiadat leluhur guna mengembalikan keteraturan di dalam negeri Tiongkok yang sedang kacau-balau. Itulah sebabnya Konfusius disebut pula sebagai  ahli pedagogi besar pertama dalam sejarah Tiongkok (Andri Wang, The Wisdom of Confusius, Gramedia Pustaka Utama, 2011).

Sebagai ajaran dan filsafat klasik lagi besar yang mampu bertahan lama hingga saat ini, Konfusianisme tentu bisa memberikan wawasan (insight) menarik yang relevan terkait pendidikan bagi kita. Ini mengingat pendidikan sering digadang-gadang sebagai salah satu solusi bagi krisis multidimensi yang masih kita alami. Oleh karena itu, mari kita coba menyarikan filsafat pendidikan Konfusius dari sejumlah pepatah dan kebiasaan sang filsuf.

1. Pelajaran perlu diingat ulang kembali setiap hari agar tidak bisa terlupa. Bukankah belajar adalah hal yang menyenangkan?

Inilah tips belajar ala Konfusius supaya kita tidak mengadopsi pola sistem kebut semalam (SKS) dalam proses belajar. Belajar sedikit tapi setiap hari sambil mengulang pelajaran yang lalu akan memantapkan fondasi ilmu kita. Kemudian, jadikan proses belajar itu menyenangkan supaya kita, baik sebagai guru maupun murid, tidak akan terbebani dengan proses belajar mengajar atau membaca referensi.

2. Belajar tanpa dicerna tidak ada gunanya. Hanya belajar tanpa mempraktikkan tidak ada gunanya.

Belajarlah dengan memahami, bukan menghafalkan. Bertanyalah kepada siapa saja yang mengerti jika belum paham. Selanjutnya, praktikkan pelajaran yang sudah kita dapatkan dari kelas atau dari guru. Sebagai contoh, jika kita belajar teori menulis, tentu kita harus mulai mempraktikkan menulis sesuatu entah itu di buku harian, media massa, blog, dan lain sebagainya. Kalau kita belajar teori manajemen, akan lebih baik jika kita juga mencoba membuat usaha kecil-kecilan untuk menerapkan ilmu kita tersebut. Practice makes perfect jika meminjam ungkapan dalam bahasa Inggris.

3. Aku ajari engkau cara menuntut ilmu secara benar, yaitu apa yang kita ketahui katakan tahu, apa yang tidak kita ketahui, katakan tidak tahu.

Bersikaplah rendah hati dan singkirkan juga perasaan untuk malu bertanya. Ajukan pertanyaan kepada guru atau orang yang lebih paham demi memudahkan pemahaman kita. Benarlah kata pepatah lama bahwa "malu bertanya sesat di jalan."

4. Kalau karena kurang kemampuan di tengah jalan tidak kuat berjalan lagi, itu karena Anda sendirilah yang membuat garis batas, membatasi diri tidak mampu maju lagi.

Artinya, jangan pesimistis dalam belajar. Bulatkan tekad dan kuatkan rasa percaya diri bahwa tidak ada pelajaran yang tidak bisa kita kuasai. Rasa percaya diri ini akan menjadi self-fulfilling prophecy yang memudahkan kita mencapai pemahaman yang baik. Literatur zaman sekarang menyebut ini sebagai "The Law of Attraction".

5. Pada hari biasa, Kong Zi alias Konfusius menggunakan empat pelajaran untuk mengajari muridnya, yaitu Kitab Kuno (termasuk puisi, sastra, etika, musik), Budi pekerti, Kesetiaan, dan Kepercayaan.

Inilah tipe pendidikan yang memberikan keseimbangan antara otak kiri (rasional) dan otak kanan (intuitif, kreatif, estetis) karena mengajarkan seni. Kitab Kuno juga merepresentasikan pentingnya membaca karya klasik dan sejarah. Selain itu, dalam konteks kita saat ini, Konfusius menganjurkan kita mempelajari akhlak (Budi pekerti), pendidikan kewarganegaraan (kesetiaan), dan agama (kepercayaan). Ini demi menghasilkan manusia yang tidak hanya berpengetahuan luas dan berkemampuan praktis solutif, tapi juga berakhlak mulia.

Jika kelima dari sekian banyak nasihat dan kebiasaan mengajar Konfusius di atas bisa dipraktikkan, kita pasti akan bisa memetik manfaat besar dari sana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun