Belum lama ini saya menemukan satu buku bekas di lapak loak langganan saya (yang sayang seribu sayang koleksi bukunya kian menipis karena kata bapak pemiliknya "sudah jarang orang beli buku cetak selain buku pelajaran sekolah") berjudul Kisah-Kisah Sufi (Pustaka Firdaus, 1989). Ada tiga hal menarik dari buku yang aslinya berjudul Tales of the Derwishes ini. Pertama, ia merupakan kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau dan dipilih dari buku-buku klasik sufi, tradisi lisan, naskah yang belum diterbitkan, dan mazhab-mazhab perguruan sufi di berbagai negara. Artinya, boleh jadi banyak kisah sufi yang sarat makna dalam buku ini jarang kita temukan di buku-buku lain.
Kedua, kumpulan kisah-kisah sufi dalam buku ini dikurasi oleh Idries Shah (1924 - 1996), seorang guru sufi dan penulis terkemuka. Salah satu bukunya yang menjadi rujukan pengantar di Indonesia untuk memahami Sufisme adalah Jalan Sufi (Pustaka Jaya, 1985) yang diterjemahkan oleh intelektual Islam terkemuka Prof. Azyumardi Azra.
Ketiga, karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tak lain dan tak bukan Sapardi Djoko Damono (1940 - 2020). Sarjana sastra Inggris dari Universitas Gadjah Mada dan Guru Besar Sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini sudah legendaris statusnya sebagai sastrawan terkemuka Indonesia, terutama dengan kumpulan puisi monumentalnya, Hujan Bulan Juni. Nama Pak Sapardi menjadi jaminan mutu bahwa kisah-kisah Sufi ini akan bisa ditransliterasikan secara kredibel dan memadai untuk dipahami oleh pembaca Indonesia.
Sebagaimana umumnya kisah Sufi, semua 54 kisah Sufi (kenapa 54, apakah karena 5 + 4 sama dengan 9 yang berarti kesempurnaan tertinggi sekaligus kesempurnaan kebijaksanaan dan pengalaman? Entahlah) dalam buku ini begitu penuh alegori dengan lapisan-lapisan makna mendalam yang masing-masing laksana punya sayap untuk ikut menerbangkan imajinasi kita menjelajahi cakrawala hikmah. Berikut saya sadurkan satu contoh kisah Nabi Isa yang sangat relevan jika kita tafsirkan dengan situasi umat manusia saat ini.
Kisah Nabi Isa dan Orang-orang Bimbang
Diceritakan oleh Sang Guru Jalaluddin Rumi dan lainnya bahwa pada suatu hari Isa putra Maryam berjalan di padang pasir bersama sekelompok orang yang suka mementingkan diri sendiri. Mereka memohon kepada Isa untuk memberitahukan Kata Rahasia yang Nabi gunakan untuk menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan kepadamu, kau pasti akan menyalahgunakannya."
Mereka menjawab, "Kami sudah siap dan sesuai dengan pengetahuan semacam itu. Lagipula, hal itu akan menambah keyakinan kami."
"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," kata Isa, yang tetapi tetap memberikan Kata Rahasia itu.
Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu tempat terlantar dan melihat seonggok tulang yang sudah memutih. "Mari kita uji kemampuan Kata itu." Diucapkanlah kemudian Kata itu.
Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itu segera terbungkus daging dan menjelma menjadi hewan liar yang kemudian merobek tubuh mereka.
Kisah selesai sampai di situ. Sebuah cerita sangat pendek, tapi menyisakan makna mendalam terkait situasi umat manusia dan perkembangan teknologi hasil olah pikir nalar manusia.
Batas nalar
Kita bisa mengibaratkan Kata Rahasia itu sebagai nalar manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan menyusun ilmu pengetahuan (sains) guna menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam alam semesta dan kalau perlu menaklukkannya, seperti manusia yang terobsesi untuk hidup abadi misalnya. Perkembangan sejarah ilmu pengetahuan di titik ini sudah sampai ke taraf luar biasa, seperti penemuan bom nuklir, kloning, robot, Akal Imitasi (AI), dan lain sebagainya.
Akan tetapi, nalar ternyata punya hasrat jelajah yang liar dan bersemangat penaklukan (contohnya menaklukkan kematian) sampai tidak memusingkan batas etis yang semestinya ia jaga. Kasus Oppenheimer dengan bom atomnya adalah contoh nyata.
Atau, dalam dunia fiksi, kita bisa melayangkan ingatan pada tokoh Monster ciptaan Victor Frankenstein yang ingin menjelma layaknya Tuhan (playing God) untuk menciptakan kehidupan dalam buku klasik karangan Mary Shelley, Frankenstein. Pada akhirnya, Victor justru diteror oleh monster ciptaannya yang tak bernama itu hingga menjumpai ajal.
Manusia yang mendapatkan Kata Rahasia Nabi Isa juga menjadi ibarat Sisifus yang mencuri rahasia dewa (pengetahuan) dan akhirnya dihukum untuk menjalani tugas absurd menggelindingkan batu dari atas, membawanya ke atas lagi, menggelindingkannya ke bawah, dan begitu seterusnya (Albert Camus, Mite Sisifus, Gramedia, 1996). Kita disuruh Camus membayangkan bahwa Sisifus bahagia, padahal belum tentu juga itu yang dirasakan Sisifus.
Kita jadinya membayangkan bagaimana jika manusia terus dengan proyek nalarnya dan bisa mengkloning manusia? Manusia akhirnya akan mengalami krisis identitas seperti dialami pesulap Angier dalam novel The Prestige (sudah difilmkan oleh Christopher Nolan dengan pemeran Hugh Jackman dan Christopher Bale) yang mengklon dirinya terus menerus dengan alat ciptaan Nikolai Tesla demi bisa hidup abadi dan memenangi kompetisi dengan sesama pesulap, Borden, sampai Angier akhirnya tidak tahu lagi siapa dirinya.
Imajinasi pun dapat kita alamatkan pada skenario film the Matrix karya Wachowski Brothers/Sisters yang diperankan Keanu Reeves. Film itu menggambarkan situasi apokalipstik di mana manusia pada satu titik ditundukkan dan diperbudak oleh robot dan Akal Imitasi (AI) yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, nalar cogito Cartesian yang menempatkan kesadaran manusia sebagai pusat haruslah menyadari bahwa daya jelajah nalar, betapa pun bertenaganya dia, ada batasnya. Adapun batas itu adalah berupa etika yang mesti menjaga martabat kehidupan, identitas, dan eksistensi autentik manusia itu sendiri. Jika tidak, daya jelajah nalar boleh jadi akan mengantarkannya pada wilayah liar di mana hanya nasib malang yang menanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI