Pada hakikatnya, politik secara filosofis bertujuan mewujudkan satu bangunan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bagi seluruh warga negara. Guna merealisasikan itu, politik memerlukan kestabilan. Sementara itu, jika kita berbicara soal kestabilan dalam satu sistem politik, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini bisa menjadi salah satu sumber inspirasi untuk memberikan semacam garis besar haluan berpolitik yang baik dan efektif. Singkatnya, memberikan teologi koalisi atau fikih koalisi.
Terkait dengan itu, Islam mengenal dua hadis masyhur sekaligus kontroversial yang diriwayatkan Ibnu Umar terkait syarat penting kestabilan politik. Pertama, hadis  "masalah ini (kepemimpinan politik) selalu berada pada orang-orang Quraish selama mereka (masih) minimal dua orang."
Kedua, hadis "masalah ini (kepemimpinan politik) ada pada orang-orang Quraish, dan tiada seorang pun yang menentangnya, kecuali Allah SWT akan melemparkannya ke dalam neraka, selama mereka (orang Quraish) berpegang pada agama." Nah, kedua "hadis politik" ini kontroversial karena seakan mengisyaratkan diskriminasi hak memerintah hanya kepada kaum Quraish semata.Â
Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Muhibbin M.A. dalam tesis magisternya, Hadis-hadis Politik (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996), Ibnu Khaldun berusaha merasionalkan hadis di atas dengan mengatakan penyebutan kaum Quraish itu didasarkan pada kenyataan bahwa orang Quraish saat itu merupakan suku Arab paling kuat, tangguh dan terkemuka. Juga, mereka memiliki solidaritas kelompok yang kokoh sehingga dianggap paling berwibawa untuk memelihara keutuhan dan persatuan umat Islam. Dengan demikian, merekalah yang dianggap mampu mengurus negara secara efektif.Â
Dengan kata lain, kedua hadis di atas sebenarnya punya makna simbolis, yaitu "solidaritas kelompok" adalah syarat utama bagi terciptanya satu pemerintahan efektif yang stabil. Maka itu, jika ada suku lain yang lebih terkemuka, berwibawa, dan solid barisan serta kekompakan sosialnya, suku tersebut berhak pula memegang kepemimpinan.
Pendek kata, "solidaritas kelompok" adalah kata kuncinya. Dalam konteks negara demokrasi modern, di mana lembaga eksekutif dan legislatif menjalankan fungsi saling kontrol (checks and balances), "solidaritas kelompok" itulah yang mendapatkan cantelan relevansinya dalam bentuk "koalisi". Sebab, "koalisi" persis merupakan ikhtiar politik yang tercetus apabila tidak ada satu kelompok politik dominan keluar sebagai pemenang pemilu yang berhak untuk menjalankan pemerintahan.Â
Tujuan dari koalisi adalah menciptakan rasa solidaritas dan kekompakan yang kokoh, kuat, tangguh, lagi berwibawa demi mengamankan jalannya pemerintahan sekaligus proses pengambilan keputusan dan kebijakan.
Oleh karena itu, satu elemen utama yang mesti hadir dalam suatu "koalisi" adalah kekompakan para anggotanya. Ibarat kata, para anggota koalisi haruslah satu suara dalam segala hal yang terkait dengan kebijakan pemerintah demi menciptakan satu beleid yang efektif dalam tataran operasional dan implementasi.Â
Tentu ini bukan berarti para anggota koalisi harus patuh membuta terhadap, katakanlah, anggota koalisi mayoritas. Juga bukan berarti para anggota koalisi justru sekongkol membentuk oligarki untuk menguntungkan kepentingan sempit mereka sendiri.Â
Namun, dinamika politik akibat perbedaan pendapat antara anggota koalisi seyogianya merupakan proses tertutup demi mempertahankan persepsi publik mengenai kekompakan koalisi. Kalau tidak, publik atau rakyat yang diperintah tentu akan menganggap koalisi tidak solid. Pada gilirannya, ini akan membuyarkan syarat "fikih" atau "teologis" pemerintahan efektif berupa "solidaritas kelompok" yang kokoh, kuat, tangguh, dan berwibawa itu tadi.