Jadi secara fikih atau teologis, satu koalisi politik haruslah dibangun atas kesamaan platform/ideologi dan visi-misi, bukan atas dasar pragmatisme kekuasaan bagi-bagi kursi. Adapun ideologi maupun visi-misi yang mesti kukuh dipegang dan dipraktikkan, sesuai hadis politik di atas, adalah berpegang pada nilai agama atau etika. Artinya, koalisi pemerintahan mesti menjalankan pemerintahan yang amanah, akuntabel, transparan, adil, dan mampu mensejahterakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Kemudian, jika dalam dinamika politik ada satu anggota koalisi yang tidak lagi sevisi, mereka harus mengundurkan diri dari koalisi supaya tidak merusak lebih jauh kewibawaan "kelompok" yang harus memerintah secara efektif. Sebagai gantinya, mereka bisa memilih untuk menjadi mitra kritis alias oposisi, yang memang niscaya dalam sistem demokrasi.
Akhirulkalam, Presiden mesti menyadari bahwa koalisi dalam kosakata politik bukanlah sesuatu yang berdimensi duniawi belaka, tapi juga memiliki dimensi teologis dan ukhrawi (akhirat) yang berguna untuk mewujudkan satu bangunan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik dan ideal bagi sesama warga negara. Jika ini bisa disadari bersama oleh para elit politik lain, niscaya satu pemerintahan efektif yang bercita-cita memajukan kesejahteraan bersama bisa terlaksana. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI