Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengatasi Politik Uang Untuk Memperbaiki Demokrasi

11 Maret 2025   17:00 Diperbarui: 11 Maret 2025   19:20 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Vote Buying in Indonesia karya Burhanuddin Muhtadi, salah satu referensi artikel ini (Sumber: www.amazon.com)

Secara esensial, demokrasi harusnya membuat proses sirkulasi kekuasaan lebih terbuka untuk semua orang. Jadi, semua warga negara secara setara mesti punya akses yang sama ke jabatan publik, utamanya lewat partai politik sebagai wahana utama agregasi dan artikulasi politik masyarakat (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, 2007).

Sayangnya, demokrasi kita saat ini justru marak diwarnai politik uang dalam berbagai ajang pemilihan umumnya, suatu hal yang sungguh berbahaya bagi demokrasi. Sebab, politik uang berisiko membuat pemimpin dipilih bukan karena kualitas dan integritas mereka, tapi semata karena pertimbangan pragmatis terkait seberapa banyak pemilih bisa mendapatkan insentif finansial dari para kandidat.

Meski tidak banyak yang ditindak secara hukum, praktik politik uang bisa dicium aromanya. Ibarat orang buang angin, kita bisa mencium baunya dan mengetahui fakta ada orang buang angin, tapi tidak mampu secara tepat menunjuk pelakunya.

Akan tetapi, ada tiga studi yang mengkonfirmasi fenomena maraknya politik uang (money politics) tersebut. Studi pertama adalah disertasi Gubernur Jakarta saat ini, Pramono Anung Wibowo, di bidang komunikasi politik. Dalam disertasi berjudul Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi (Penerbit Kompas, 2013), Pramono mengungkapkan fakta menyedihkan betapa para kader parpol yang menjadi legislator DPR semakin berjarak dengan para konstituennya akibat lima hal. 

Pertama, hambatan pendanaan dalam artian tidak semua kader mampu mengeluarkan dana besar untuk berkampanye guna terpilih menjadi anggota DPR. Kedua, menguatnya ideologi pasar dalam kampanye politik, sehingga relasi antara legislator dan konstituen lebih bersifat transaksional dalam arti terjadi praktik politik uang. Ketiga, melemahnya ideologi parpol. Akibatnya, parpol tidak mementingkan visi misi partai dan menjadi lebih pragmatis atau sekadar mementingkan pencapaian tujuan. Keempat, lebih mementingkan politik kemasan. Alhasil, kader hanya mengutamakan janji-janji manis tapi minim eksekusi. Kelima, individualisasi perjuangan politik. Maksudnya, penerapan sistem proporsional terbuka membuat persaingan calon legislator (caleg) antar partai maupun di internal partai begitu sengit dan lebih bersifat individualistis. Hasilnya, kadang caleg mengabaikan ideologi dan lebih mengandalkan gimmick pribadi demi meraih kursi. Keterkaitan dengan konstituen pun memudar.

Sementara itu, penelitian Amalinda Savarini dan Arya Budi (Prisma 2, 2023) menambahkan lemahnya relasi partai dengan konstituen menunjukkan bahwa sebagian besar parpol di Indonesia berciri paternalistik dan klientelistik, di mana partai dan para anggotanya tergantung hanya pada satu sosok berpengaruh (paternal). Ini menyulitkan kader partai untuk bertindak mandiri dan hanya menjadi sekadar pelaksana yang tidak bisa bersikap kritis (klien). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa ini membuat pemilih diposisikan seakan sebagai klien yang bisa dibeli suaranya dengan sejumlah uang dalam amplop atau acap dikenal sebagai fenomena "serangan fajar" (pembagian amplop di pagi hari jelang pemilihan).

Penelitian terakhir adalah disertasi Burhanuddin Muhtadi berjudul Vote Buying in Indonesia (Palgrave Macmillan, 2019, bisa diunduh secara gratis secara daring). Di sana, Muhtadi menyimpulkan bahwa kian menipisnya loyalitas pemilih terhadap partai (party ID) dari 88 persen pada pemilu 1999 hingga tersisa hanya 10,1 persen pada pemilu 2019 membuat kader partai harus bekerja ekstra keras untuk memenangi kursi di daerah pemilihan (dapil) mereka. Ini diperparah dengan penerapan sistem proporsional terbuka di mana kader partai tidak hanya mesti bersaing dengan kader dari partai lain, tapi juga dengan sesama kader partai yang sama.

Sebagai jalan pintas, lanjut Muhtadi, banyak kader partai memilih untuk melakukan politik uang melalui perantara (broker) demi memenangi kursi. Memang, data statistik menunjukkan hanya 10 persen sekian pemilih yang memilih karena uang, tapi itu lebih dari cukup karena rata-rata margin kemenangan kader partai untuk meraih kursi hanyalah sekitar 1 persen. Artinya, politik uang memang mendatangkan hasil setimpal (worth it).

Solusi

Kondisi pragmatisme politik uang oleh kader partai politik tentu tidak boleh dibiarkan. Sebab, situasi penuh pola transaksional semacam ini akan membuat elit politik kian jauh dari rakyat, semakin tidak mampu memenuhi aspirasi masyarakat, dan menggoda kandidat untuk berpikir "balik modal" saat menjabat. Maka itu, kita perlu mengatasi masalah politik uang yang mengancam kualitas demokrasi ini lewat tiga solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun