Artinya, pelaksana tugas kepresidenan akan diemban oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Kemudian, selambat-lambatnya 30 hari sesudah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Jika pintu darurat pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ini yang diambil, potensi komplikasi pun tetap terjadi. Pasalnya, posisi wakil presiden adalah pembantu utama presiden yang disendirikan penyebutannya dalam pasal 4 ayat (2) UUD 1945, "Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden." Dan, salah satu wujud bantuan wakil presiden adalah dia menjadi tempat bersandar---sesuai makna kata bahasa Arab wakil---dalam artian dia harus siap menggantikan seorang presiden jika sang presiden tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya. Lalu, buat apa seorang wakil presiden diadakan (dalam konteks sang wakil presiden adalah mantan presiden dua periode) jika dia secara otomatis harus berhenti sebagai wakil ketika sang presiden tidak mampu mengemban tugasnya? Bukankah ini berarti membuang anggaran untuk pemilihan presiden apabila menghasilkan seorang wakil presiden yang tak mampu menjalankan fungsinya secara penuh sebagai pengganti jabatan kepresidenan jika terjadi sesuatu kepada sang presiden? Situasi realpolitik juga bisa kacau karena sang wakil presiden beserta para pendukungnya mungkin saja bersikukuh untuk menggantikan sang presiden.
Dua solusi
Oleh karena itu, demi menghindari komplikasi konstitusi di balik skenario apakah seorang presiden boleh menjadi wakil presiden di kemudian hari, ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, perlu ada penegasan dalam UUD 1945---melalui proses amandemen---atau dalam UU Pemilu bahwa seorang mantan presiden tidak boleh mencalonkan diri secara "turun jabatan" sebagai wakil presiden. Atau yang kedua, pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden dalam pasal 7 UUD 1945 diinterpretasikan sebagai hanya tidak boleh lebih dari dua kali berturut-turut. Artinya, seorang presiden dan wakil presiden boleh mencalonkan diri kembali sesudah dua kali masa jabatan apabila posisi mereka sudah diselingi oleh sosok lain. Kembali, ini bisa dipertegas lewat amandemen UUD 1945 atau UU Pemilu. Hanya saja, kedudukan UU Pemilu lebih lemah karena bisa diuji dan dibatalkan melalui uji materi (judicial review)Â di Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan dua solusi ini, potensi komplikasi konstitusi bisa dihindari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI