Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Komplikasi Konstitusi: Jika Mantan Presiden Menjadi Wakil Presiden

8 Maret 2025   15:27 Diperbarui: 8 Maret 2025   15:27 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UUD 1945 dan Perubahannya (Sumber: dokumentasi pribadi)

Sebagai seseorang yang pernah mengajar mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan selama belasan tahun di beberapa kampus, saya mengamati satu fakta menarik terkait konstitusi kita, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sejak disahkan pada 1945, UUD 1945 kita itu baru mengalami amandemen sebanyak empat kali saja, yaitu dari 1999 hingga 2002. Kala itu, amandemen diperlukan untuk merespons tuntutan era reformasi di berbagai bidang seiring berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sesudah itu, lebih dari 22 tahun berlalu, kata "amandemen" seakan menjadi tabu.

Padahal, amandemen harusnya menjadi suatu kelaziman dalam tradisi bernegara dan berhukum suatu negara. Bahkan Amerika Serikat saja sejak 1789 telah mengamandemen konstitusinya sebanyak 27 kali atau sekitar satu kali per 8 tahun. Sementara kita, karena baru mengadakan empat kali amandemen sejak 1945, statistiknya berarti hanya sekitar satu kali amandemen per 20 tahun. Amandemen memang niscaya karena, sebagai buatan manusia, konstitusi pastilah pada suatu waktu akan ketinggalan zaman atau memang ada celah yang tak teramati di dalam proses amandemen sebelumnya.  

Sebagai contoh, proses amandemen UUD 1945 dari 1999 hingga 2002 sebenarnya luput mengantisipasi komplikasi jika ada seorang presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan kemudian mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Dalam UUD 1945 versi amandemen, seorang presiden dan wakil presiden tidak boleh menjabat lebih dari dua kali masa jabatan. Ini sesuai pasal 7 UUD 1945 bahwa, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Namun, konstitusi tidak melarang seorang mantan presiden yang sudah menjabat dua kali kemudian mencalonkan diri ke jabatan yang lebih rendah sebagai wakil presiden. Padahal, ini bisa memicu potensi komplikasi dalam konstitusi kita.

Skenario komplikatif

Apakah komplikasi yang mungkin terjadi? Mari kita tengok kembali pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan." Dari isi pasal inilah, muncul kemungkinan skenario komplikatif. Andaikan saja ada seorang mantan presiden yang sudah menjabat dua periode. Kemudian, sang mantan presiden ini pada pemilihan presiden (pilpres) di satu waktu justru mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan menang.

Skenario kita teruskan lebih ekstrem lagi yang lantas memunculkan potensi komplikasi konstitusi serius. Katakanlah presiden yang didampingi oleh sang wapres (yang mantan presiden dua periode ini) meninggal, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya sebagaimana tercantum dalam pasal 8 ayat (1) UUD 1945, yaitu "Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya". Pertanyaan konstitusionalnya adalah, apakah sang wakil presiden yang mengemban amanat konstitusional untuk menggantikan sang presiden tetap dibolehkan menjadi presiden? Sebab, skenario ini memiliki arti bahwa dia akan terpilih menjadi presiden selama tiga periode, meskipun tidak berturut-turut karena sudah diselingi oleh presiden yang kini akan ia gantikan.

Jika kita bertahan pada pembatasan masa jabatan dua kali sebagaimana tercantum dalam pasal 7 UUD 1945, maka sang wapres yang mantan presiden dua periode dan kini menjadi presiden kembali akan digugat keabsahan konstitusionalnya karena berarti dia sudah menjabat tiga kali.

Lantas, bagaimana memberhentikan presiden yang tidak konstitusional ini karena dia belum meninggal, masih cakap melaksanakan kewajibannya, dan tidak mau berhenti? Taruhlah kemudian presiden ini harus diberhentikan. Pemberhentian tentu mengandaikan pelantikan, apalagi dalam kehidupan bernegara tidak boleh ada kekosongan kekuasaan (power vacuum) barang sedetik pun. Padahal, jika sang wapres yang mantan presiden dua periode ini dilantik, itu berarti jabatannya tidak konstitusional karena tidak sesuai dengan pasal 7 UUD 1945. Pemberhentian melalui proses pemakzulan (impeachment) pun melalui proses panjang dan itu berarti sang presiden akan sempat menjabat untuk beberapa waktu, padahal jabatannya dianggap tidak konstitusional.

Kemungkinan berikutnya, sang wapres sesuai pasal 8 ayat (3) UUD 1945 dianggap tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan mereka secara bersamaan dengan sang presiden. Bunyi pasal 8 ayat (3) itu adalah sebagai berikut, "Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dn Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun