Oleh karena itulah orang-orang di Desa Gebang saat itu, melakukan usaha penggemukan sapi. Â Mereka akan mencari sapi-sapi yang kurus dengan harga yang relatif murah dari berbagai tempat. Â
Setelah itu akan mereka pelihara dengan pakan yang sudah dicampur tape ketan tersebut. Tiga bulan setelah gemuk, akan mereka jual, kemudian mereka akan membeli sapi lagi untuk digemukkan.
Terinspirasi dengan ampas tape ketan yang dapat menggemukkan sapi, maka saat di meja ruang tamu di rumah Pak Lurah yang kami tempati tersaji brem maka segera kusikat. Menjelang KKN berakhir, kutimbang berat badanku, eh naik 5 kilogram, hehehe...
Penggembalaan yang dilakukan penduduk desa Gebang aku rasa agak unik. Sapi maupun kambing, mereka gembalakan di padang rumput tepi Waduk Gajah Mungkur.Â
Karena jarak padang penggembalaan dengan desa mereka cukup jauh, maka mereka akan membuat tenda, tidur berhari-hari bersama ternak mereka, pulang ke rumah sesekali saja karena kepentingan keluarga atau sosial kemasyarakatan.
Angkringan Kisah Kekalutan Hati
Kami akhirnya menemukan warung angkringan di pinggir jalan. Â Kami memesan teh hangat tawar dan susu jahe. Â Jahenya digepuk langsung, sehingga menurut anak dan istri saya, terasa banget hangatnya. Â
Saya sempat menikmati "sega kucing" sambel bandeng. Â Baik sambel maupun bandengnya sedikit sekali. Â Harganya tiga ribu rupiah. Â Teringat saat kuliah di UNS dulu. Â Di tahun 85-an, harga sega kucing itu cuma seratus rupiah, itulah menu makan saya hampir setiap hari.
Kami berkenalan dengan penjual angkringan itu. Â Namanya Wiwik (47), rumah Salak, Kecamatan Kota Wonogiri. Dia bercerita bahwa bekerja angkringan sudah 12 tahun dan bekerja sebagai buruh penjual. Menurutnya, ia buka angringan dari sore sampai sekitar jam10/ 11 malam, kadang sampai jam 12 malam tutupnya.Â
Sehari-harinya ia dibayar 50 ribu rupiah. Wiwik memiliki 3 orang anak yang sudah mentas atau berumah tangga semua, dan saat ini ia sudah punya cucu. Kelihatan indah kisahnya. Â