"Biar gak lapar di jalan, Nak."
Gestur kecil, tapi begitu hangat.
Begitu tiba di Stasiun Lempuyangan, kami memilih berjalan kaki menuju Malioboro. Sambil menarik ransel, kami menikmati suasana sore yang khas: suara gamelan, aroma sate, dan senyum pedagang yang tak henti menawarkan dagangan.
Kami duduk di pinggir jalan, memesan nasi kucing dan wedang ronde. Total hanya Rp10.000, tapi rasanya seperti makan malam mewah.
3. Penginapan Murah, Tapi Banyak Cerita
Kami menginap di homestay kecil di Prawirotaman, milik seorang bapak pensiunan guru. Hanya Rp60.000 per malam untuk bertiga.
Kamar kami sederhana, berkipas angin, tapi bersih. Setiap pagi bapak pemilik rumah menawari kami teh hangat sambil bercerita tentang sejarah Yogyakarta dan perjuangan masa mudanya.
"Kalau kalian ingin lihat Jogja sesungguhnya," katanya, "kelilinglah pagi-pagi sebelum wisatawan bangun."
Kami pun menuruti sarannya.
Keesokan hari, kami menyusuri kampung, melihat warga bersepeda, anak-anak berangkat sekolah, dan ibu-ibu menjemur pakaian sambil berbincang. Rasanya damai. Jogja yang sederhana, tapi begitu manusiawi.
4. Wisata Hemat, Bahagia Maksimal