Mohon tunggu...
Suviyanti 'Story Box'
Suviyanti 'Story Box' Mohon Tunggu... -

Ini hanya coretan kecil

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

“Kelas Baru, Lagi?”

13 Maret 2014   00:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama tidak menulis, barangkali ini akan berakhir dengan tulisan sederhana. Hanya, semoga masih punya makna.

Tahun ini, secara belum resmi, saya sudah menyelesaikan tugas belajar di sekolah. Bersyukur orang tua saya dengan daya upaya mereka begitu total menghantar saya mendekat ke topi wisuda pertama saya, jika tak ada halangan akan digelar Mei mendatang. Harapannya, ingin ada topi S2 dan mungkin S3 yang bisa diraih. Yah, itu masalah waktu, biaya, dan doa. Oh iya, tentunya juga harapan!

Tahun ini berkesan. Biasanya, selesai satu jenjang pendidikan, saya mempersiapkan segala sesuatu ke jenjang pendidikan berikutnya: siap-siap pindah kelas (lagi).

Waktu Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, jarang terlewat untuk merengek meminta tas baru, atau sekedar kotak pensil baru. Saya juga bingung, apa itu benih egoisme sejak kecil, atau memang trend yang dibudayakan di lingkungan sekolah. Yang pasti, saya berusaha untuk mendapat peringkat atau ranking yang baik agar mama pun mau memberi apresiasi tersebut.

Memang, tidak semudah anak-anak lain yang tanpa merebut ranking, sudah ada sejubel hadiah dari mamanya. Jadi, memang sudah terbiasa bagi saya untuk menargetkan sekedar ranking, yang kata guru-guru, ranking satu itu berarti paling pintar!

Nyatanya, semasuk Sekolah Menengah Pertama, ada paradigma yang berubah. Ada ekspektasi atau tuntutan lebih seusai mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) yang penuh program “bullying” saat itu. Ekspektasi sederhana, namun cukup liar. Bahwa percuma jadi siswa yang dianggap pintar secara ranking tapi tidak punya prestise sebagai kakak OSIS yang punya “power”. Liarnya, saat rekrutmen Latihan Dasar Kepemimpinan dibuka, yang terlintas adalah “harus jadi OSIS biar bisa ngerjain adek-adek kelas nantinya”. Boro-boro ada pikiran tentang berorganisasi, belajar management, waah belum sampai sana! Dan kalau akhirnya disadari, menjadi “anak OSIS” pun adalah target mencapai prestise. Dan bodohnya, saya ikut mengulang "bullying" ala marah-marah anak SMP ke adik kelas, plus bergaya sok galak meski badan paling kerempeng! (hahaha).

Barulah, menginjak Sekolah Menengah Pertama, dengan paradigma yang lagi-lagi bergeser. Saat mengenakan putih-abu itulah saat dimana bersekolah itu jadi hal yang paling menyenangkan! Tanpa disadari, berteman dan membangun persahabatan jadi hal yang saya jalankan dengan sepenuh hati. Betapa berangkat ke sekolah menjadi hal yang paling menyenangkan. Ditambah lagi, beberapa moment usil yang kadang ketauan guru, kadang tidak. Pokoknya, berteman semasa SMA itu persis seperti lagu alm.Chrisye, "masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah"

Apalagi, ada kesempatan kembali menjadi OSIS. Awalnya, tidak ada rencana apa-apa soal OSIS. Saat itu hanya menikmati hari-hari yang nyaman, dan mungkin moment yang paling menarik adalah ketika seorang guru ekonomi (Alm.Bpk Daniel) dengan beberapa trick-nya, membujuk untuk mengikuti lomba-lomba ekonomi di beberapa kampus di Jakarta. Masih teringat jelas ketika beliau “menghasut” saya dan beberapa teman untuk masuk kelas IPS dan bawa nama sekolah di ajang lomba ekonomi. Dan memang untungnya, saya sedari awal sudah memutuskan untuk memilih kelas IPS. Jadilah, masa-masa itu, kali pertama saya mendapatkan “uang” hasil keringat belajar saya dari perlombaan ekonomi, bahkan jauh sebelum saya memutuskan untuk mengajar les private untuk tambahan uang jajan.

Ditambah lagi, kegiatan OSIS dan komunitas persekutuan doa di sekolah yang pada akhirnya memberikan saya begitu banyak perspektif baru. Bahwa menjadi pintar atau ranking itu tidak menjamin apa-apa, selain kebanggaan orang tua dan mungkin uang beasiswa yang tidak terlalu besar saat itu. Juga tidak menjamin prestise bahwa dengan menjadi “eksis”, berarti semua orang senang kepada kita. Toh, justru di dalamnya, “war” atau perang dalam kehidupan itu semakin kerasa. Sebut saja ketika ada adu argumen saat rapat, ajang sewot-sewotan, harus menerima ide orang lain yang terpakai, bagaimana tepat waktu dan tanggung jawab, bagaimana menjaga omongan dan emosi ketika ada masalah; terlalu banyak pelajaran dan kenangan berharga yang ingin sekali saya ulang di masa SMA.

Sampai pada akhirnya, ketika 70-an siswa di angkatan saya itu, harus memilih jalan masing-masing. Ketika datang berbagai macam universitas melakukan promosi kampus dan fakultas, di sana sempat saya bimbang. Selama tiga tahun itu, sekolah serasa second home buat saya. Teman-teman dekat itu yah semacam “genk”, yang kalau boleh disebut bahasa gaulnya : “SOLID BANGET”. Toh, solid itu bukan berarti SATU tanpa perbedaan; ada yang mau akuntansi, perhotelan, kedokteran, macam-macam lah. Dan saya, merasa ilmu komunikasi jadi pilihan terbaik. Hawa-hawa perpisahan pun semakin ketara.

Sampai singkat cerita, saya pun memilih gedung kampus yang jauh dari rumah agar bisa mengalami rasanya “ngekos”, dengan alasan beasiswanya paling puolll, akhirnya orang tua setuju. Memang, ada rasa bosan juga kalau harus masuk kampus di sekitaran rumah, karena buat saya, “pasti gak jauh-jauh dari anak Telukgong, anak sekolahan saya..” Saya, dengan meyakinkan diri sendiri, akhirnya berpikir untuk nekad keluar dari comfort zone seperti masa SMA.

Tapi nyatanya, saya masih ingat jelas. Hari pertama pendaftaran ke kampus baru, saya bagaikan orang asing yang masuk ke kelompok baru, kelompok orang lain. rasanya canggung, sama sekali tidak enak.  Sampai akhirnya, 3,5 tahun itu saya bangun dengan menemukan macam-macam teman dari berbagai fakultas, dengan gelagat dan sifat yang saya pelajari sedikit demi sedikit. Itu moment! Kuliah ilmu komunikasi itu, sembari berteori, sembari dipraktekkan. Siapa bilang kuliah ilmu sosial itu tidak aplikatif dan omong kosong? Bahkan belajar ilmu sosial ini jadi pelajaran seumur hidup, selama kita berinteraksi dengan orang lain. Sebut saja satu konsep "Looking Glass Self" dari Cooley ( http://en.wikipedia.org/wiki/Looking_glass_self )  , kemudian ketika memutuskan untuk memilih penjurusan Public Relations, mengenal dosen-dosen kece dan smart, itu adalah pengalaman yang hebat! Kuliah komunikasi ini pada akhirnya tidak pernah saya sesali. Ditambah lagi dengan hadirnya segerombol teman yang selalu bersama semasa kuliah, kita dipanggil “rempongers”. Moment kuliah pun sangat saya syukuri.

Dan, seperti melayang saja, saya pun segera akan mengakhiri perjalanan pendidikan ini. Yang nantinya, masuk ke ranah bekerja. Bisa saya sebut sebagai “kelas baru, lagi?”

Yang pasti, tahun ini akan penuh hal-hal yang saya tunggu. Tahun di-wisuda, tahun bekerja profesional di institusi, tahun bergaji secara resmi, tahun mulai berusaha membalas sedikit demi sedikit ke orang tua (meski tidak akan pernah cukup), tahun siap-siap jatuh-bangun ketika "lapar mata" dan harus mengeluarkan uang pribadi, pokoknya di tahun 2014 ini.

Saya excited,sama hal-nya dari TK sampai kuliah, ada rasa penasaran dan deg-degan memasuki level yang baru, kelas baru di sepanjang kelas kehidupan!

Terima kasih,Tuhan Yesus.

me, my room.

Suviyanti

12/03/2014 - 17.35 Wib.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun