Mohon tunggu...
Sutriyono Robert
Sutriyono Robert Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis lepas, menyukai seni budaya lokal.

Menikmati senja, alam, bebunyian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angin Barat

15 Oktober 2020   04:38 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:28 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita lima paragraf
Aku masih terlalu kecil ketika orang-orang kampungku menamai angin kencang yang yang bertiup dari arah barat itu dengan nama Angin Barat. Juga belum kusadari betul, lantas mereka menyingkatnya menjadi barat. Ketika aku beranjak malu bila bercelana tanpa sempak, aku mengikuti apa kata mereka. Menyebut angin kencang sebagai 'barat'. Bahkan bila angin itu bertiup dari timur, atau dari utara atau dari selatan, dari hamparan air laut yang bergulung-gulung di pantai itu. Barat, rasanya kata pertama dalam bahasa Indonesia yang aku ucapkan. Selebihnya dan sebelumnya, aku berbahasa Jawa pinggiran selatan. Ah.

Lalu Ibu bercerita bahwa Ayah menghilang terbawa barat. Cerita itu diulang-ulang dengan kelu. Dan Kau tahu, betapa aku lantas membenci barat. Juga segala hal yang berasal dari barat. Kiriman-kiriman oleh-oleh dari barat. Cerita-cerita dari barat. Juga ketika beranjak mencari jodoh, calon-calon atau gadis-gadis dari barat. Barat telah merenggut kebutuhan masa kecilku, akankah aku merengkuhnya?

"Tapi aku barat dekat, Mas. Ibuku juga berdarah Jawa. Obrolan di rumah juga tidak sunda-sunda amat. Iya kan, Teh?" katamu sembari meminta dukungan kakakmu. Dan bagaimana aku akan mengakuimu sebagai Jawa, sementara menyebut kakakmu saja dengan teteh. Ah.

Sebenarnya aku membenci kebencianku pada barat ini. Kata mereka yang punya cerita lama, orang Jawa tidaklah cocok dengan Sunda. Entah ini penghakimkan macam apa? Apakah ini warisan Majapahit dan Kerajan Sunda. Warisan Gajah Mada yang ambisius dengan Sumpah Palapanya, dan kerajaan Sunda menolak tunduk. Tetapi sementara itu Raja Hayam Wuruk malah jatuh cinta dengan Putri Dyah Pitaloka. Entahlah.

Pada Februari, ketika angin barat memuncak, Pak Dhe memutuskan mengantarku ke rumah keluarga Dyah Ayu di Pangandaran. Saatnya harus dipastikan, melamarnya. Jangan hanya angin-anginan, kata Pak Dhe. Tetapi ini puncak angin barat, kata batinku. Dan batinku ternyata benar. Pak Dhe marah demi bertemu ayah Dyah. "Duapuluh tahun Kamu tinggalkan keponakanku, sekarang Kamu sodorkan anak perempuanmu untuknya? Fikri, pulang!!" suara Pak Dhe menggelegar dan tangannya menyeret tanganku keluar rumah Dyah.

 

Puri Banteran

Lereng Gn Slamet, 24 Agustus 2020

Sutriyono

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun