Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perbedaan Hibah dan Gratifikasi, Celah Hukum dalam UU PTPK

4 September 2021   10:41 Diperbarui: 4 September 2021   18:15 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: finansialku.com)

Orang yang cerdik lihai menyiasati "celah hukum" agar (seolah) tidak menjadi suap. Caranya, pemberian dari orang tersebut diterimanya, tetapi kewajiban jabatan atau tugasnya tetap dijalankannya, hanya mungkin tidak penuh. 

Misalnya, setelah menerima uang, oknum polisi tetap menyidik, oknum jaksa tetap menuntut, oknum hakim tetap menjatuhkan hukuman. Hanya saja pasal, tuntutan, atau hukuman diperingan.

Dalam pada itu, pemberian bisa saja masuk dalam kategori pemerasan bila si (calon) penerima aktif memberi ancaman baik lisan, tulisan, cetak maupun elektronik.

Ketiga, gratifikasi sebenarnya tidak dilarang secara tegas dalam UU PTPK, sehingga tidak tepat disebut "bertentangan dengan UU PTPK". Yang dilarang oleh UU PTPK (vide Pasal 12B) adalah gratifikasi dalam bentuk suap.

Gratifikasi dalam bentuk suap adalah, pemberian dalam arti luas kepada PNS/ASN atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan si penerima dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas si penerima.

Yang agak ambigu pejabat publik yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatan, vide Pasal 11 UU PTPK (Pasal 418 KUH Pidana), artinya, si penerima diberi karena jabatan (kalau tidak ada jabatan tidak akan diberi), lebih mengarah ke gratifikasi tapi bisa juga suap. 

Karena itu, untuk kasus begini, lebih baik si pejabat melaporkan hadiah yang dierimanya demikian ke KPK untuk mendapat kepastian berupa penetapan apakah termasuk gratifikasi atau bukan. Selain bahwa fokus risiko hukum dalam Pasal 11 UU PTPK ada pada penerima (bukan pemberi).

Gratifikasi yang tidak dimaksudkan sebagai suap atau tidak memenuhi unsur suap, tidak dilarang secara tegas oleh UU PTPK.

Karena itu, memang ada"celah hukum" dalam UU PTPK. Yang memberi ruang bagi PNS/ASN atau penyelenggara negara untuk menerima pemberian dari orang lain untuk memperkaya diri.

Apalagi kewajiban melaporkan gratifikasi yang diterima hanya didasarkan pada Peraturan KPK yang tidak mempunyai sanksi pidana. Orang bisa saja merasa aman tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya.

Dan, regulasi KPK tersebut, juga tidak mewajibkan semua gratifikasi dilaporkan, contohnya pemberian oleh keluarga, hadiah pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, upacara adat atau keagamaan; buah tangan pisah sambut rekan kerja; pemberian bukan dalam bentuk uang melainkan voucher belanja, pulsa, cek dan giro; nilai pemberian paling banyak Rp300.000 sekali beri total maksimal 1.000.000 per tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun