Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kenapa Kita Harus Selalu Berkompetisi?

27 Maret 2016   15:21 Diperbarui: 27 Maret 2016   16:54 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kiasu, takut kalah (Sumber: www.sekolahsg.com)"][/caption]Kiasu adalah istilah yang pernah nge-trend di Singapore beberapa tahun lalu. Kiasu artinya takut kalah, jadi semua orang saling berkompetisi agar menjadi pemenang.

Dampak takut kalah di dunia kerja, ternyata berimbas pada pendidikan anak. Banyak sekolah menerapkan kelas unggulan, dengan menggabungkan siswa dari rangking tertinggi untuk berkompetisi di satu kelas eksklusif. Siswa yang gagal bersaing, terpaksa harus tereliminasi dan pindah ke kelas di luar kelas ekslusif tersebut.

Di era tahun 1974 saat saya menjadi siswa pada salah satu SMA bergengsi di kota Semarang, saya sempat mengalami suka duka masuk di kelas eksklusif. 

Dapat dibayangkan guncangan peradaban yang berubah drastis, saat SMP saya bisa sekolah sambil berolahraga sepulang dari sekolah :bulu tangkis, tenis meja, renang, bola basket atau bersepeda. Sedangkan saat di SMA, saya harus bergelut dengan soal-soal latihan, yang bukunya saya dapatkan di pasar buku bekas guna "melawan" teman-teman satu kelas yang mengikuti les stereo, gonio, matematika, fisika dan kimia.

Kesenangan berolahraga sirna digantikan menjadi kutu buku disela-sela jam istirahat maupun sepulang sekolah. Memang saya dengan susah payah tetap dapat menempati posisi 3 besar, namun kesenangan bersekolah jadi sirna. Sekolah yang semula untuk mencari banyak teman, kini harus berkompetisi dengan teman sekelas.

Naasnya, saat melanjutkan ke perguruan tinggi, saya harus ketemu dengan penerapan sistem nisbi, yang tidak kalah serunya. Namun kesenangan untuk berorganisasi di tengah persaingan, meski nekad tetapi ternyata membuahkan nilai lebih di kemudian hari. Memang dari pengalaman berkompetisi dan berorganisasi di SMA dan perguruan tinggi, akhirnya menempa diri saya untuk siap berkompetisi dan berkooperasi di dunia kerja. 

Kompetisi vs Kerjasama

Kini dunia pendidikan sudah memperbaiki diri, rapor dibagikan kepada orang tua, tanpa menyebutkan rangking siswa di kelas.
Tidak ada kompetisi, sekolah sekarang mengajarkan ke anak didiknya tentang kerjasama (cooperation). Siswa harus bisa bekerja dalamteam work dan siswa harus bisa cepat bersosialisasi dan beradaptasi. Siswa harus punya banyak teman.

Lebih penting bagi sekolah untuk mengajarkan kepada siswa story telling dan bagaimana mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa yang terstruktur dan sistematis. Sekolah mengajari siswa logika dalam setiap kalimat yang siswa ucapkan.

Konsep yang diterapkan sekarang mengacu pada konsep pendidikan di Amerika, yang membina mental siswa agar mengutamakan ”How can I help you”, siswa tidak dididik untuk saling menjatuhkan. 

Dan di Amerika, hampir semua profesi mendapatkan penghasilan yang layak, tidak harus semua menjadi “dokter” atau "insinyur" seperti di Indonesia. Semua orang boleh mencari penghidupan sesuai passion-nya, sehingga semua bidang kehidupan sangat berkembang maju karena diisi orang-orang yang bekerja dengan bergairah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun