Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Eksil, Kisah Kelam Indonesia Era 1960-an

6 Maret 2024   07:00 Diperbarui: 6 Maret 2024   07:10 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nobar "Eksil" (sumber gambar: Anto)

Menurut mereka, yang  salah (meski harus dibuktikan secara hukum) adalah petinggi partai, kenapa kesalahan juga harus ditimpakan kepada anggota, yang bahkan hanya petani biasa. Mereka mengakui sebagai orang Kejawen, bukan penganut Marxisme apalagi Komunisme.

Karena kerinduannya akan tanah airnya, mereka akhirnya terpaksa menerima tawaran menjadi WN di tempat domisilinya. Mereka dapat kembali ke Indonesia, meski merasa tetap dikuntit, bahkan bisa tiba-tiba diminta pulang saat sedang berlibur, serta dilarang membuat film tentang daerahnya.

Banyak kejadian yang menyedihkan sebagai manusia, dimana mereka tidak dapat menguburkan jenasah orangtuanya, maupun mengenal dengan baik anak kandungnya.

Semoga peristiwa politik yang sangat getir secara kemanusiaan ini tidak terjadi lagi di Indonesia. Film "Eksil" Ini adalah sebuah potret bagi generasi muda yang belum lahir pada era 1960-an. Generasi muda harus menyaksikan film ini, agar mengetahui peristiwa kelam ini pernah terjadi di Indonesia.

Terima kasih atas riset dari Lola Amaria Production yang sekaligus memproduksinya. Terima kasih kepada Pemerintah Presiden Joko Widodo dan LSF yang mengizinkan film ini beredar di Indonesia. Semoga ada upaya Pemerintah yang berani bertindak guna mengembalikan sekitar 600 eksil ke Indonesia.

Kini mereka harus menunggu dengan pasrah hingga ajal menjemput, karena rata-rata mereka sudah berusia 70 tahunan.


Usulan solusi

Apakah memungkinkan ke 600 eksil dipulangkan ke Indonesia dan ditampung di sebuah pulau dengan pengawasan yang ketat, agar mereka tidak berpolitik praktis. Setidaknya di hari tua mereka, mereka berhak menikmati hidup di tanah kelahirannya.

Bila mereka harus keluar dari penampungan, misal menghadiri acara keluarga, dapat dikawal aparat. Semua surat dapat disensor, apakah menggunakan sandi untuk berpolitik.

Semoga keinginan tulus mereka untuk lahir dan meninggal di tanah air tercinta dapat terwujud. Toh mereka sudah uzur, mereka tentu tidak akan sanggup berpolitik praktis lagi.

Sungguh getir menyaksikan, saat jenasah dibaringkan dengan iringan lagu "Indonesia Pusaka" karya Ismail Marzuki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun