Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengunjungi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong

21 Januari 2020   11:18 Diperbarui: 21 Januari 2020   12:00 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan nama dan Pemilik Museum (sumber: travel.kompas.com)

Sebenarnya untuk berkunjung ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang terletak di Ruko Golden Road C28/25 CBD BSD, Jl. Pahlawan Seribu, Lengkong Gudang, Serpong, BSD City, Tangerang Selatan harus melakukan reservasi atau janji waktu agar pustaka yang diinginkan dapat disiapkan. Karena kami kurang mengetahui aturan main itu, maka kami langsung saja datang dan ketika ditanya apakah sudah reservasi, dengan polos kami mengatakan belum melakukan reservasi dan kami tidak tahu apa yang dapat dilihat pada Museum Pustaka ini.

Cikal Bakal
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa ini didirikan oleh Azmi Abubakar seorang pria asal Gayo Aceh. Saat kuliah di Institut Teknologi Indonesia (ITI), Azmi aktif berorganisasi dan dia trenyuh melihat ketidak adilan yang menimpa bangsa Tionghoa. Puncaknya terjadi saat peristiwa 13-14 Mei 1998 saat terjadi pembakaran, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa, sebuah sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Pada saat kejadian itu Azmi dan teman-teman mahasiswa ITI berusaha menjaga beberapa rumah warga Tionghoa yang berdekatan dengan kampusnya.

Dampak dari peristiwa kelam ini menimbulkan perenungan dalam bagi Azmi, lalu dia mengumpulkan buku-buku dan klipping tentang Tionghoa baik membeli di tukang loak maupun mendapat sumbangan buku dari para simpatisan, guna mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. 

Menurut Azmi, bila orang mau memahami sejarah, bisa dilakukan melalui membaca, diharapkan mampu menghargai perjuangan yang pernah dilakukan bangsa Tionghoa sejak era penjajahan Belanda hingga sekarang. Azmi berjuang memberikan pengetahuan kepada generasi tua dan muda tentang sejarah Indonesia yang benar dan tanpa ditutup-tutupi.

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa ini berdiri pada pertengahan November 2011, menempati ruko berlantai dua, yang berisi koleksi tiga puluh lima ribu buku, dokumen, koran, foto dan segala benda bertema Tionghoa yang berhasil dikumpulkan Azmi. Kini banyak dikunjungi oleh para mahasiswa Sastra Tionghoa maupun para pengunjung yang tertarik mempelajari peran bangsa Tionghoa di Indonesia.

Suasana Museum Lantai 1 (sumber: news.gunadarma.ac.id)
Suasana Museum Lantai 1 (sumber: news.gunadarma.ac.id)
Cerita Sejarah
Karena kami mengunjungi Museum Pustaka tanpa keinginan membaca buku / majalah / klipping tertentu, maka relawan yang mengelola Museum Pustaka ini menceritakan sejarah bangsa Tionghoa di Indonesia. Cerita diawali dari terbentuknya sekolah modern pertama di Indonesia pada tahun 1901 oleh Yayasan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) yang menjadi cikal bakal sekolah Pahoa sekarang. 

Di bidang pendidikan tinggi bangsa Tionghoa juga banyak terlibat dalam mendirikan perguruan tinggi di Indonesia seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Diponegoro Semarang yang sering disembunyikan informasinya.

Adanya seorang Tionghoa bernama Kapiten Sepanjang yang banyak terlibat peperangan pada era penjajahan Belanda di pulau Jawa. Siauw Beng Kong seorang etnis Tionghoa yang sangat dekat dengan warga Banten, akhirnya harus pindah ke Batavia setelah dikepung dari tiga penjuru oleh pasukan Belanda. 

Laksamana John Lie pahlawan nasional dari etnis Tionghoa yang menyelundupkan senjata untuk mempersenjatai tentara Indonesia yang baru terbentuk. Kemudian tentang Bapak bangsa Tionghoa Sun Yat Sen yang pemikirannya "San Min Hui" banyak diadopsi oleh Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.

Kisah tentang Oei Tiong Ham yang sempat menjadi raja gula pada era abad 19. Geger Pecinan atau Tragedi Angke pada 1740 yang terjadi di Batavia karena orang Tionghoa dianggap terlalu dekat dengan kerajaan Banten sehingga dibunuh oleh Belanda. Karena orang Tionghoa di Indonesia tidak mau membuat kepang potongan rambut khas Tionghoa yang dikenal dengan istilah taucang, sehingga menyamarkan warga Tionghoa dan penduduk Jawa yang menyulitkan tentara Belanda. Asal nama Pondok Cina di Depok juga ada sejarahnya, daerah itu dahulu menjadi tempat persinggahan bagi orang Tionghoa yang sedang berdagang ke Batavia.

Wayang potehi permainan sandiwara boneka sarung yang berasal dari Fujian Selatan dengan cerita klasik Tiongkok seperti Sie Djien Koei Ceng Tang, Sie Djien Koei Ceng Se, Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak, Phui Sui Giok dan Se Yu (Pendeta Thong Sam Cong dengan Kera Sakti, Siluman Babi dan Siluman Ikan). Lazim dipentaskan di dekat kelenteng dengan bahasa Hokkian, namun saat ini sudah menggunakan bahasa Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun