Mohon tunggu...
Sutanto Wijaya
Sutanto Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Certified Professional Coach (CPC), Freelance Writer

Certified Professional Coach (CPC), Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"No Comment!"

29 Desember 2020   16:17 Diperbarui: 29 Desember 2020   16:31 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image credit: shutterstock

"Wise men speak because they have something to say; fools because they have to say something." -- Plato

Saya berusaha mencari tahu tentang asal usul fitur kolom komentar yang umumnya kita temukan di laman situs, blog, media sosial. Sayangnya belum berhasil. Menurut salah satu artikel yang saya baca sehubungan dengan topik ini, tidak ada yang mau mengaku sebagai pencipta fitur ini karena image-nya yang katanya seperti cesspool atau septic tank karena begitu banyaknya "komentar sampah".

Tidak bisa dipungkiri, dengan melihat sekilas saja di kolom komentar suatu postingan di suatu situs, blog, atau media sosial, kemungkinan Anda akan menemukan yang disebut dengan "komentar sampah" ini. Yakni komentar-komentar negatif yang hanya menebar kebencian, verbal bullying, dan sejenisnya.

Dengan observasi sekilas saja Anda akan bisa melihat masih cukup banyak netizen yang belum sadar bahwa mereka bisa mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dan bahasa yang lebih konstruktif. Atau, bisa jadi mereka sadar dan tidak peduli. Haters gonna hate, seperti kata Taylor Swift dalam lagunya.

Secara lebih mendalam, hal ini juga menunjukkan betapa kurangnya rasa empati kita. Dengan mudahnya kita mengetikkan komentar negatif tanpa mau tahu apa konsekuensinya bagi pihak lain.

Kita bisa lihat bagaimana penyanyi Isyana Sarasvati sampai curhat dan menangis live di acara TV ketika menceritakan pengalamannya mengalami online bullying. Hal yang membuatnya sampai trauma dan tidak mau membaca kolom komentar ketika posting content di Instagram.

Kolom komentar yang awalnya dimaksudkan sebagai suatu sarana untuk diskusi yang sehat seakan telah berubah menjadi sarana untuk berdebat dan saling hujat. Konsep agree to disagree serasa seperti sebuah konsep alien yang tidak dikenal warga bumi, atau dalam hal ini warganet. Bahwa kita boleh tidak sepakat tanpa harus saling menjatuhkan (tentunya konsep ini juga berlaku offline).

Selain dampak negatif langsung, kolom komentar yang penuh dengan komentar negatif juga berpotensi menenggelamkan atau bahkan menghalau komentar-komentar positif yang berpeluang untuk membawa dampak positif.

Lalu apakah ada solusi untuk hal ini? Ada pihak yang mengambil jalan pintas menghilangkan kolom komentar sama sekali. Ada juga yang memilih untuk melakukan moderasi. Opsi lainnya adalah dengan tidak membaca komentar, sebagai suatu bentuk defense mechanism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun