Sistem zonasi sekolah yang diharapkan menghapus ketimpangan antar sekolah justru menimbulkan fenomena lain: sekolah unggulan kehilangan daya seleksinya, tapi kelas sosial tetap terlihat di gerbang sekolah.
Mobil-mobil SUV menurunkan anak-anak di depan pintu utama. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga biasa menunggu motor ojek daring yang terlambat. Tidak ada lagi "SMP unggul", tapi ada "kelompok orang tua unggul" yang bisa membeli kenyamanan dan kecepatan.
"Zonasi memang membuat distribusi siswa lebih merata, tapi tidak menyentuh akar masalah: ketimpangan ekonomi,"
"Yang terjadi, hanya distribusi label, bukan distribusi kualitas."
Di tengah kemacetan itu, kita seakan melihat simbol kecil dari perubahan besar, Pendidikan yang katanya setara, tapi tetap dibatasi oleh pagar sosial.
Dari Kolektivitas ke Individualitas
Angkot dulu adalah ruang sosial, tempat orang saling menyapa, berbagi kabar, bahkan bertengkar kecil tentang uang kembalian. Kini, ruang itu hilang.
Transportasi pribadi dan ojek daring menghadirkan efisiensi, tapi juga menghapus interaksi sosial spontan. Kita hidup lebih cepat, tapi semakin asing satu sama lain.
"Sosiologinya jelas: masyarakat Padang sekarang lebih individualistik,"
"Dulu, naik angkot berarti bagian dari komunitas. Sekarang, naik motor sendiri berarti efisien, tapi juga sendirian. Kita kehilangan ruang bersama."
Keterasingan sosial ini terasa bahkan dalam hal-hal kecil. Anak-anak SMP kini tak lagi hafal nama sopir angkot langganannya. Orang tua tak lagi bertegur sapa di pangkalan. Kota Padang yang dulu hangat dengan budaya basa-basi di jalan, kini dingin oleh kaca mobil tertutup.
Kemajuan atau Kemunduran?
Pemerintah menyebut ini kemajuan, ada Trans Padang, ada sistem zonasi, ada pertumbuhan ekonomi. Tapi kemajuan jenis apa yang membuat jalan semakin macet, sopir angkot menganggur, dan warga semakin terpisah oleh kelas sosial?