Di rumah dinas Gubernur yang megah di jantung Padang, angin sore datang membawa aroma laut dan sisa hujan. Dari beranda istana itu, seorang pria berjenggot putih menatap langit dengan tatapan yang tak mudah ditebak antara syukur dan beban. Ia adalah Mahyeldi Ansharullah, anak tukang becak yang kini menjadi Gubernur Sumatera Barat.
Ia menatap langit bukan karena ingin berdoa, karena doa sudah menjadi rutinitasnya. Ia menatap langit karena barangkali hanya itu yang tidak menghakiminya. Kritik datang dari segala arah, dari warga, dari akademisi, bahkan dari mereka yang dulu ikut berjuang menempelkan poster wajahnya di setiap tiang listrik kota. Tapi Mahyeldi punya cara khas menjawab semua itu, kalimat yang mungkin lebih sering diucapkan ketimbang salam pembuka rapat birokrasi:
"Jika kritik itu saya, maka akan saya perbaiki. Jika bukan, akan jadi pembelajaran"
Kalimat itu seolah jadi zikir politiknya. Tenang, lembut, dan nyaris tanpa gesekan. Tapi di balik ketenangan itu, Sumatera Barat berdiri di tepi dilema, apakah kesalehan cukup untuk menuntun pembangunan?Â
Anak Tukang Becak yang Jadi Datuk
Cerita Mahyeldi selalu dibingkai dalam narasi keteladanan. Ia anak seorang tukang becak dari Bukittinggi. Sejak kecil, ia sudah terbiasa bekerja keras membantu ayah, berjualan kecil-kecilan, hingga menempuh pendidikan di Universitas Andalas. Dari situ, ia tumbuh sebagai sosok yang menggabungkan dua hal langka di dunia politik, kesabaran dan kejujuran.
Orang-orang yang mengenalnya sering bilang, Mahyeldi adalah politisi yang kalau bicara tak pernah meninggi, tapi juga tak pernah mundur. Ia bukan tipe orator, melainkan pengajar. Tidak menaklukkan dengan kata-kata, melainkan menenangkan dengan kesahajaan.
Namun, kesahajaan dalam politik sering kali menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menumbuhkan kepercayaan, di sisi lain ia mengundang keraguan, apakah kesantunan bisa berjalan seiring dengan ketegasan?
PKS dan Bayang-bayang yang Tak Pergi
Mahyeldi adalah wajah paling halus dari PKS, partai yang sudah begitu lama berakar di tanah Minangkabau. Di Sumatera Barat, PKS bukan sekadar partai, ia sudah menjadi semacam kultur baru, paduan antara dakwah, relawan sosial, dan komunitas eksklusif yang percaya bahwa politik adalah bagian dari ibadah.