Mohon tunggu...
I Gede Sutana
I Gede Sutana Mohon Tunggu... Lecturer

Ilmu Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merawat Kebersamaan, Menolak Kekerasan: Membaca Ulang Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka

14 September 2025   20:50 Diperbarui: 14 September 2025   20:50 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah arus deras globalisasi, masyarakat dunia kerap dihadapkan pada paradoks: semakin dekat secara fisik dan digital, namun justru semakin jauh dalam rasa. Kemajuan teknologi komunikasi tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman empati, bahkan seringkali justru memperlihatkan wajah sebaliknya. Konflik kepentingan, politik identitas, persaingan ekonomi, hingga polarisasi akibat media sosial, menciptakan jurang pemisah yang memicu pertengkaran, kekerasan, dan permusuhan. Dalam pusaran krisis sosial ini, muncul pertanyaan fundamental: bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan tanpa harus saling melukai? Di Bali, jawaban atas pertanyaan ini sesungguhnya telah diwariskan melalui kearifan lokal yang dikenal dengan ungkapan Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka. Sebuah filosofi sederhana, namun menyimpan kedalaman makna tentang solidaritas, kebersamaan, dan penolakan terhadap kekerasan.

Ungkapan Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka telah lama menjadi pedoman hidup masyarakat Hindu Bali. Ia bukan sekadar semboyan, melainkan etika sosial yang berakar dalam pada praktik keseharian. Segilik-seguluk dapat dipahami sebagai kebulatan tekad, kesatuan rasa, dan kebersamaan hati. Masyarakat yang hidup segilik-seguluk adalah masyarakat yang menyingkirkan ego individual demi kebaikan bersama. Sedangkan selunglung-sebayantaka berarti berbagi beban suka dan duka secara kolektif. Tidak ada kebahagiaan sejati jika hanya dirasakan oleh segelintir orang, demikian pula tidak ada penderitaan yang boleh ditanggung sendirian. Filosofi ini mengajarkan bahwa keberadaan manusia tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dalam jaringan sosial yang penuh keterhubungan. Dengan demikian, solidaritas bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendasar untuk menjaga kehidupan.

Filosofi ini berakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali. Dalam teks suci Hindu, prinsip Tat Twam Asi menyatakan "aku adalah engkau, dan engkau adalah aku." Artinya, penderitaan orang lain sesungguhnya adalah penderitaan kita sendiri, dan kebahagiaan orang lain sejatinya juga menjadi bagian dari kebahagiaan kita. Jika prinsip ini benar-benar dihayati, maka kekerasan menjadi tidak masuk akal, sebab menyakiti orang lain sama artinya dengan menyakiti diri sendiri. Di sisi lain, prinsip Ahimsa atau anti kekerasan yang diajarkan Mahatma Gandhi juga selaras dengan nilai ini. Ahimsa bukan hanya larangan untuk tidak menyakiti secara fisik, tetapi juga mencakup pikiran dan perkataan. Kehidupan segilik-seguluk dan selunglung-sebayantaka menjadikan ahimsa bukan sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai praktik nyata dalam relasi sosial. Di Bali, nilai ini diperkokoh pula oleh ajaran Tri Hita Karana, harmoni tiga dimensi kehidupan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Segilik-seguluk dan selunglung-sebayantaka menjadi wujud nyata harmoni antar manusia, sehingga menjaga keseimbangan pawongan sebagai salah satu pilar kehidupan.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali, nilai ini menemukan ruang aktualisasinya dalam berbagai tradisi dan praktik gotong royong. Upacara adat, misalnya, hampir mustahil terlaksana tanpa kebersamaan segilik-seguluk. Dari mempersiapkan sarana upacara, membangun tenda, menyiapkan konsumsi, hingga menata banten, semua dilakukan bersama tanpa pamrih. Begitu pula ketika ada keluarga yang mengalami duka, masyarakat secara spontan bergotong royong memberikan bantuan, baik tenaga maupun materi. Tidak ada hitung-hitungan untung rugi, sebab dalam pandangan hidup Bali, penderitaan seseorang adalah penderitaan bersama. Begitu juga kebahagiaan yang dirayakan dalam pesta pernikahan atau kelahiran anak, akan selalu menjadi kebahagiaan bersama desa atau banjar. Pola hidup seperti ini mencerminkan bahwa harmoni sosial bukanlah retorika, melainkan praktik hidup sehari-hari yang diwariskan lintas generasi.

Relevansi filosofi ini sangat kuat dalam konteks anti kekerasan. Kekerasan sering kali lahir dari egoisme, dari ketidakmampuan menempatkan kepentingan pribadi dalam kerangka kepentingan kolektif. Ketika seseorang hanya melihat dirinya sebagai pusat, ia mudah menyakiti orang lain demi keuntungan pribadi. Namun, dalam pandangan segilik-seguluk, tidak ada ruang bagi egoisme semacam itu. Solidaritas menjadi benteng yang mencegah munculnya konflik. Bahkan jika konflik muncul, selunglung-sebayantaka mengajarkan bahwa penyelesaian harus dilakukan melalui dialog, musyawarah, dan empati, bukan dengan kekerasan. Dengan demikian, falsafah ini tidak hanya berfungsi sebagai semboyan moral, tetapi juga sebagai mekanisme sosial yang menjaga kohesi masyarakat.

Namun, dalam perkembangan zaman, tantangan terhadap nilai ini semakin besar. Modernisasi, individualisme, dan gaya hidup konsumtif sering kali menggerus rasa kebersamaan. Masyarakat urban, termasuk sebagian generasi muda Bali, lebih terbiasa dengan kehidupan serba instan dan kompetitif, sehingga semangat gotong royong mulai terpinggirkan. Media sosial memperparah keadaan dengan menciptakan ruang bagi ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi. Konflik yang dulunya diselesaikan dengan tatap muka dan musyawarah, kini kerap meledak dalam bentuk pertengkaran digital yang bisa berujung pada permusuhan nyata. Dalam kondisi seperti ini, membaca ulang Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka menjadi semakin mendesak.

Membaca ulang di sini berarti menempatkan kembali nilai tersebut dalam konteks kekinian. Ia tidak harus dipahami semata-mata sebagai praktik tradisional, tetapi juga sebagai prinsip universal yang relevan dalam dunia modern. Misalnya, dalam dunia kerja yang penuh kompetisi, nilai segilik-seguluk dapat mendorong semangat kolaborasi, sehingga keberhasilan tidak ditentukan oleh individu semata, melainkan hasil kerja sama tim. Dalam kehidupan berbangsa, selunglung-sebayantaka dapat menjadi fondasi untuk membangun solidaritas antar kelompok yang berbeda suku, agama, maupun budaya. Dalam ruang digital, nilai ini dapat diterjemahkan sebagai etika bermedia sosial yang mengedepankan saling menghormati, menolong, dan tidak menyakiti dengan kata-kata. Dengan demikian, filosofi ini tidak berhenti pada konteks adat Bali, tetapi dapat diangkat sebagai etika universal bagi kehidupan global.

Lebih jauh, Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka juga bisa dilihat sebagai tawaran jalan damai dari Bali untuk dunia. Dalam peradaban modern yang kerap terjebak pada politik kekerasan, terorisme, dan perang, nilai ini menunjukkan bahwa perdamaian tidak harus dicapai melalui kekuatan senjata, melainkan melalui solidaritas. Solidaritas bukan sekadar rasa kasihan, melainkan kesadaran eksistensial bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika kesadaran ini ditanamkan sejak dini dalam pendidikan, maka generasi muda akan tumbuh dengan empati yang kuat, sehingga kekerasan tidak akan menemukan tempatnya. Pendidikan multikultural di sekolah, misalnya, dapat memperkuat nilai ini dengan menanamkan penghargaan terhadap perbedaan. Agama dan adat, alih-alih menjadi sumber konflik, justru dapat menjadi sumber kekuatan untuk merajut kebersamaan.

Tentu, ada tantangan dalam menjaga relevansi nilai ini. Tidak jarang, modernisasi membuat sebagian orang menganggapnya kuno atau tidak praktis. Ada pula yang hanya menjadikannya slogan tanpa menghayati substansinya. Karena itu, perlu ada revitalisasi makna. Revitalisasi dapat dilakukan melalui tiga jalur: pendidikan, budaya, dan kebijakan sosial. Pendidikan dapat memasukkan nilai segilik-seguluk dalam kurikulum, sehingga siswa terbiasa dengan praktik kerja sama sejak dini. Budaya dapat mempertahankan tradisi gotong royong dalam bentuk yang disesuaikan dengan kehidupan modern, misalnya kerja bakti digital atau komunitas daring yang menolong sesama. Sementara kebijakan sosial dapat memperkuat semangat solidaritas melalui program pembangunan berbasis partisipasi masyarakat. Dengan demikian, filosofi ini tetap hidup, tidak hanya dalam teks adat, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Jika direnungkan lebih dalam, Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka adalah jawaban atas problem mendasar manusia: rasa keterasingan. Dalam masyarakat modern, banyak orang merasa kesepian meski dikelilingi oleh keramaian. Mereka hidup dalam kompetisi yang memisahkan, bukan kebersamaan yang menyatukan. Filosofi ini hadir sebagai penawar: manusia tidak pernah benar-benar sendirian. Ada kebersamaan yang harus dirawat, ada solidaritas yang harus dijaga. Dengan kebersamaan, penderitaan menjadi lebih ringan, dan kebahagiaan menjadi lebih bermakna. Inilah esensi anti kekerasan sejati, sebab kekerasan lahir dari keterasingan, sementara kebersamaan melahirkan kedamaian.

Pada akhirnya, Segilik-Seguluk, Selunglung-Sebayantaka adalah warisan berharga yang tidak boleh hanya disimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Bali, tetapi juga harus dihidupkan kembali dalam kehidupan sehari-hari. Dunia yang tengah retak oleh kekerasan, konflik, dan ketidakadilan, membutuhkan filosofi ini sebagai obat penawar. Merawat kebersamaan bukan sekadar pilihan moral, tetapi sebuah keharusan untuk mempertahankan kemanusiaan. Menolak kekerasan bukan hanya demi orang lain, tetapi juga demi diri kita sendiri, karena dalam diri setiap manusia selalu ada bagian dari manusia lain. Bali melalui filosofinya telah menunjukkan bahwa jalan menuju damai selalu ada, selama kita mau hidup dalam segilik-seguluk dan selunglung-sebayantaka. Dengan demikian, membaca ulang nilai ini bukan sekadar nostalgia terhadap kearifan lokal, tetapi juga kontribusi nyata untuk membangun dunia yang lebih manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun